Mengapa etnis Rohingya dari Myanmar dan etinis terbesar Bangladesh (Bengal) kini makin sering berada dalam satu kapal "manusia perahu" membanjiri Malaysia dan Indonesia?
Pertanyaan tersebut sekilas sepele karena berbagai sebab. Namun jika ditelusuri dengan cermat fenomena manusia perahu tersebut ternyata menyimpan rahasia berupa skema sistematis yang telah terjadi selama satu dekade terakhir tentang perdagangan manusia (trafficking human) dan penyelundupan manusia (smuggling) yang melibatkan mafia Thailand dalam sistim sangat rapi dalam sepuluh tahun terakhir.
Pada 11/5/2015, otoritas Malaysia menangkap 1 dari 3 kapal di perairan Langkawi. Dari kapal yang disebut "kandas di batu karang pemecah ombak" tersebut terdapat 555 warga asal Bangledesh dan 463 etnis Rohingya. Dua kapal lainnya meneruskan perjalan ke perairan Indonesia atau negara lain.
Pada 15/5/2015, nelayan Aceh membantu manusia perahu yang terancam mati di tengah laut (Selat Malaka). Kapal mereka ditarik ke darat (Aceh Timur). Dari kapal tesebut ditemukan 421 etis bengal (Bangladesh) dan 256 etnis Rohingya. Fakta lainnya, pada 20/5/2015, lagi-lagi nelayan Aceh melakukan penyelamatan heroik (meski dilarang TNI AL). Dari kapal tersebut terdapat 43 warga asal Bangladesh dan 399 etnis Rohingya.
Mengapa etnis Rohingya berada di utara negara bagian Arakan, Myanmar) dan etnis Bengal (Bangladesh) terpisah jarak ribuan mil itu bisa berkumpul di dalam satu kapal pengungsi makin sering terjadi akhir-akhir ini?
Hasil investigasi atas beberapa pertanyaan di atas memberi sedikit gambaran (mungkin tidak mengejutkan) bagaimana proses terjadinya pergerakan massal tersebut yang memicu saling tuding antara Malaysia, Indonesia dan Thailand.
Indonesia menuding Malaysia sengaja menggiring kapal atau bot manusia perahu ke arah perairan Indonesia. Tudingan tersebut ditolak Malaysia dengan mengatakan bahwa tujuan pengungsi BUKAN ke Malaysia tapi ke negara lain. Contohnya dua kapal lagi tidak ditangkap selain yang "kandas" oleh si "batu karang" jagonya pemecah ombak di perairan Langkawi.
Sementara Thailand menolak tuduhan sebagai biang kerok peristiwa tersebut dengan mengatakan bahwa tugas mereka adalah menghalau arus tersebut masuk ke wilayahnya. Mereka telah memberikan bekal makanan dan minuman kepada kapal-kapal manusia perahu sebagai wujud rasa kemanusiaan pada mereka yang akan menuju ke negara lain.
Kita TIDAK membahas lagi sejarah masa lalu Rohingya dalam perspektif Myanmar kuno hingga modern. Peristiwa arus imigran gelap etnis Rohingya yang mencoba menembus perairan Indonesia -secara umum- karena pilihan ingin "Merdeka" dari tekanan politik dan diskriminatif yang terjadi di Myanmar.
Sementara itu, terjadinya arus gelombang imigran gelap asal Bangladesh adalah akibat tekanan ekonomi yang menyebabkan kemiskinan dan pengangguran yang amat tinggi di Bangladesh. Hampir 2/3 dari 170 juta warga Bangladesh adalah petani. Mereka ingin mencari kerja dan mengadu nasib di negara lain terutama negara yang didominasi oleh pemeluk agama Islam di sekitar Asia Tenggara.
Kedua alasan tersebut merupakan wujud keinginan etnis Rohingya dan Bangladesh yang "dibaca" oleh sindikat penjual dan penyelundup orang di Thailand yang telah malang melintang melaksanakan aktifitas tesebut sejak 10 tahun (1 dekade) terakhir.