Apapun sebab dan latar belakang pembunuhan faktanya adalah para pengawal pribadi dan petugas keamanan negara atau kerajaan yang dikunjungi kecolongan oleh aksi serangan yang menewaskan para pemimpian pemerintahan, kepala negara atau raja terdahulu.
Bagaimana potensi gangguan keamanan tehadap Vladimir Putin?
Indonesia memang bukan Windisch pada jaman dahulu kala. Bukan juga Kosovo pada jaman entah berantah atau Beirut dan Baghdad pada jaman tempo dulu.
Layanan keamanan dan jaringan intelijien pada masa kini sudah modern. Sistem informasi terpadu dan berteknologi tinggi sudah sangat mumpuni melayani tamu-tamu negara. Hal itu telah terjadi berkali-kali dalam tingkat kegiatan apapun terbukti ampuh, berjalan aman dan lancar.
Di sisi lain, para perusuh, pelaku sabotase dan teror atau sejenisnya juga meningkatkan kemampuan mereka menggunakan jaringan dan pola-pola serangan berteknologi tinggi.
Para penyerang bisa saja dari kelompok anarkis yang ingin menjatuhkan citra pemerintah dan bisa juga oleh komplotan intelijen negara lain yang ingin merusak Indonesia dengan hadirnya kekacauan dalam berbagai bentuk kekacauan hebat bidang keamanan.
Negara-negara tersebut berkomplot menciptakan pola operasi false flag, yaitu semacam operasi untuk menyamarkan pelaku serangan sebenarnya dengan menciptakan opini, seolah-olah pihak lain pelakunya.
Secara sistematis dan berteknologi tinggi mereka ciptakan "kambing hitam" mengatas namakan sabotase atau membalikkan fakta menuduh pihak lain --bahkan intelijen negara lain-- sebagai pelakunya.
Inilah yang dikhawatirkan intelijen dan penasihat politik Rusia sehingga mengingatkan Putin agar tidak hadir pada KTT G-20 di Bali.
Sergei Markov, mantan penasehat strategi politik Putin mengatakan Putin tidak hadir di pertemuan G-20 karena khawatir pembunuhan.
Dari akun Telegram General SVR, yang diyakini sebagai intelijen Rusia dan dekat dengan Kremlin, masalah keamanan menjadi isu utama Putin tidak hadir dalam dalam KTT G20