Mereka tidak tersinggung mendengar kawasannya disebut "tempat jin buang anak," karena sudah terbiasa dengan sebutan itu dari orang lain.
Mereka juga mendengarkan lontaran kalimat itu dalam sentuhan yang halus atau mungkin saja mereka menduga orang yang memberi penilaian justru tidak paham.
Mereka tidak tersinggung dan lebih semangat memberi beberapa alternatif lain yang lebih dekat ke jalan raya.
Namun jika rekan saya itu menambah cerita dengan bumbu-bumbu kasar misalnya "Di sini hanya banyak hantu, gendoruwo, kuntilanak dan hanya monyet-monyet yang mau ke sini" mungkin orang-orang yang mendengar saat itu bisa sakit hati, setidaknya akan meninggalkan kami daripada ribut.
Jadi sebuah anekdot atau plesetan atau sebutan humor bisa menyakitkan jika disampaikan secara kasar (dalam tekanan suara maupun kasar dalam isi ucapan atau ke duan-duanya). Kesan yang timbul dari sana merendahkan orang lain.
Terlalu mudah tersulut emosikah kita mendengar kawasan kita hanya untuk tempat jin, kuntilanak, gendoruwo dan monyet-monyet?
Kalau dilontarkan dengan tambahan bumbu keras lainnya (misal kampret, monyet dan lainnya) apalagi disampaikan oleh tokoh kelompok tertentu dan sejenisnya siapapun otomatis mudah tersinggung.
Apakah orang yang tersinggung artinya cita rasa atau selera humornya rendah? Selera humor yang tinggi pun musti dikemas oleh dalam seni humor yang tinggi juga.
Salah satu parameter humor tinggi adalah menjaga etika halus. Jika sepenyampai humor menyampaikan secara kasar artinya dia tidak perduli orang lain akan tersinggung.
Jika plesetan "tempat jin buang anak" berdiri sendiri dan tidak terhubung dengan kalimat lain maka plesetan itu adalah sebuah humor biasa, tapi jika dirangkai dalam cerita atau teks kasar yang panjang maka itu menjadi luar biasa, tepatnya "tidak berlogika."
Kalau orang lain sudah tersinggung tentu saja secepatnya meminta maaf secara elegan. Tanpa menangis juga tanpa memperlihatkan gestur membela diri apalagi sambil tersenyum menahan tawa merasa diri benar.