Awalnya Pertamina mempunyai 7 kilang pengolahan minyak (Refinery Unit) yaitu RU Pangkalan Brandan, RU II Sungai Pakning dan Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap, RU V Balikpapan, RU VI Balongan dan RU VII Kasim Papua.
Kilang minyak Pangkalan Brandan telah tutup pada 2007 sehingga kini hanya 6 RU saja beroperasi sebagaimana disebutkan di atas.
Hampir seluruh RU tersebut pernah mengalami peristiwa kebakaran termasuk RU Brandan yang terjadi 13 Agustus 1947 yang dibakar dengan sengaja oleh pasukan TNI (saat TRI) daripada jatuh sia-sia ke tangan Belanda setelah ditingalkan Jepang yang kalah perang.
RU II Sungai Pakning-Dumai juga pernah terbakar. Meskipun dapur pengaolahan minyak mentah yang ludes diamuk si jago merah pada 3/11/2015 namun sempat menghentikan aktifitas pengolahan minyak beberapa hari di RU II.
RU III Plaju adalah RU tertua dan pertama Indonesia milik Pertamina. Sumurnya peninggalan Belanda telah berusia 100 tahun lebih dan masih beroperasi. Kilang ini pernah mengalami insiden kecil kebakaran pada jalur pipanya akibat disabotase oleh pencuri minyak dekat kawasan RU.
RU VII Kasim, Papua juga pernah terbakar pada 18/12/2020.
Hal sama terjadi di RU V Balikpapan pada 15/8/2019, 19/6/2020 dan terkini 26/3/2021 atau tiga kali berturut-turut dalam 3 tahun.
Pada 29/3/2021 RU VI Balongan juga terbakar. Ada 4 tangki dari 71 tangki yang terbakar akibat sambaran petir. Menurut informasi kilang minyak yang mulai beroperasi sejak 1995 ini sebelumnya juga terbakar pada Oktober 2007 dan 4/1/2019.
Diantara RU paling sering terbakar adalah RU IV Cilacap. Diresmikan pada 24/8/1976 (dibangun 1974) RU tersebut "bertugas" memperoses minyak mentah dari Timur Tengah menjadi BBM.
Kilang yang menjadi andalan 34% BBM nasional dan 60% BBM pulau Jawa ini sebelumnya pernah terbakar 6 kali yaitu :
Pada 24 Oktober 1995; pada 9 Maret 2008; pada 24 Januari 2010; pada 2 April 2011; pada 5 Oktober 2016; pada 11 Juni 2021 dan terakhri 13 Nopember 2021.
Dalam kebakaran terkini, salah seorang ekonom dari INDEF, Abra Talattov, menilai tingkat kerugian akibat kebakaran 31.000 kilo liter (kl) pertalite dengan harga jual ke konsumen itu setara dengan nilai Rp 237 miliar. Itu belum termasuk rusak dan hancurnya sarana dan pra sarana di sekitar lokasi.
Terbakarnya kilang minyak RU di tanah air sebagaimana disebutkan di atas mungkin adalah sebuah risiko meskipun telah ada antisipasi pencegahan dalam berbagai bentuk teknologi.
Akan tetapi terbakarnya RU Cilacap mengandung sarat makna. Begitu kentaranya sehingga BBC.com menulis dugaan "kesengajaan" dalam peristiwa terakhir.
Pengamat energi dari UGM, Fahmy Radhi menilai kebakaran itu terkait dengan pengaturan stok minyak yang terkait dengan hukum permintaan dan penawaran dalam harga pasar minyak di kalangan mafia (pengatur) harga minyak.
Artikel penulis sebelumnya edisi 3 April 2011 tentang analisa terbakarnya kilang minyak Cilacap pada 2 April 2011 berjudul "Analisa Terbakarnya Kilang Minyak Cilcap ke 4 Kali" juga membeberkan masalah SOP dalam bekerja, termasuk SOP pencegahan kebakaran dan teknologi pencegahan kebakaran.
Pada saat kejadian pada 11 Juni 2021 sebelumnya, Gus Falah seorang anggota DPR RI pernah meminta agar Pertamina jangan buru-buru memecat pihak yang dituduh lengah, karena banyak faktor penyebab, salah satunya adalah teknoplogi pencegahan kebakaran.
Terlepas dari benar tidaknya dugaan mafia pengatur stok bahan bakar, menganggap enteng SOP dan rendahnya mutu tekonologi pencegahan kebakaran atau mungkin juga faktor human error, faktanya adalah RU IV Cialacap betul-betul menimbulkan pertanyaan.
Di tempat lain, RU III Plaju adalah RU pertama, usia salah satu sumurnya telah mencapai 100 tahun lebih. Selama puluhan tahun juga mengalami hujan disertai petir dan badai. Nyaris tidak terdengar insiden berbahaya dan membahayakan di sana, padahal berada di tengah mafia-mafia "cap kampak" pencuri minyak dan pembuat sumur-sumur minyak tradisional.
Dengan Visi "Menjadi Kilang Minyak dan Petrokimia Nasional yang Kompetitif di Asia Pasifik pada 2025" RU III Plaju masih anak bawang dalam hal kapasita yang hanya 118 juta barel per hari atau "million barrel steam per day (MBSD), jauh di bawah RU IV Cilacap 348 MBSD per hari.
Meski kalah dalam kelas dan kapasitas tapi RU III Plaju berhasil memberi contoh apa dan bagaimana mereka mengelola produksi kecil dengan cara yang cerdas. Salah satu sumurnya telah berusia 100 tahun dan masih berproduksi.
Ke sanalah para petinggi Pertamina berguru. Apa sebab "sang senior" Plaju kilang RU pertama milik Pertamina lebih aman padahal dia berlokasi di tengah-tengah para mafioso cap lokal bergelimang lumpur dan keringat dari sumur-sumur ilegal setiap hari.
Ada asumsi "Semakin tinggi pohon semakin kuat angin meniupnya." Semakin besar kapasitas RU semakin besar pula risikonya. Namun asumsi itu kurang relevan untuk RU IV Cilacap. Yang lebih muncul malah asumsi keraguan, yakni sejumlah pertanyaan besar.
Tanda tanya itu bukan sekadar menyandang urutan nomor IV (katanya angka dinilai sial) tapi tentang keraguan mutu koordinasi di RU IV sehingga langganan bencana.
Beberapa media berita menyindir bencana tersebut sebagai "kado getir" HUT ke 4 Kilang Pertamina Internasional.
Ada juga yang mengaitkan dengan mengalihkan perhatian pada kepemimpinan Nicke Widyawati yang baru 3 tahun bercokol tak tergoyahkan, atau Ahok baru beberapa saat saja "bernafas" lega di sana.
Tapi siapapun yang berada di sana bencana seperti itu bisa terjadi jika orang-orang di bawahnya terutama unit pelaksana (RU) mutu koordinasinya rendah atau lebih parah lagi ternyata dikoordinasi oleh mafia yang mencoba mengambil keuntungan di balik bencana.
Senior pun mungkin bukan paling sakti, tapi setidaknya telah memperlihatkan hingga saat ini telah bekerja sangat efektif dan efisien menghadapi bencana.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H