Rencana pembelian pesawat tempur Rusia sesungguhnya telah lama dibuat sebelum MEF 2014 dan hadirnya CAATSA. Pada 1996 kontrak pembelian Su-30KI pada jaman Presiden Soeharto gagal terlaksana akibat berbagai tekanan. Kabarnya AS sedang mengekang Indonesia dengan alasan dalam embargo militer dan pertahanan.
Pada 2003 (masih dalam embargo militer AS) dibuat kontrak kembali dengan Rusia dan akhirnya 2 unit pesawat tempur Su-27 tiba pertama sekali pada 10 September 2010. Setelah itu hingga kini TNI AU baru punya Su-27SK sebanyak 2 unit dan Su-27 SKM 3 unit. Sementara itu Su-30MK (2) dan Su-MK2 (9).
Jumlahnya masih sedikit sekali padahal TNI AU (sesuai dengan panduan MEF) Indonesia berencana punya 8 squadron aneka jenis pesawat tempur hingga 2024. (Satu skadron terdiri dari 12 pesawat tempur.)
Sesuai dengan buku Putih Kementerian Pertahanan (Minimum Essential Force 2014) kekuatan minimum Indonesia hingga 2024telah diatur di sana termasuk modernisasi bidang pertahanan udara. Disebutkan di sana berbagai macam bentuk kerjasama pertahanan dengan sejumlah negara termasuk Rusia. Kerjasama dengan Rusia disebutkan di sini dengan jelas.
Sesuai dengan rencana telah disusun sebelumnya Indonesia telah berencana menambah kekuatan dengan jet tempur Sukhoi lebih tinggi dari yang sudah ada yakni Su-35. Untuk itu Dephan telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 16,75 triliun (1,14 miliar USD pada saat itu). Kerjasama itu telah dibuat di Moskow pada akhir 2018 untuk pengadaan 11 unit Su-35.
Ketegangan pembelian alutsista Rusia sering dialami oleh negara pembeli lainnya sebagai contoh Mesir, India dan Turki di atas, jadi bukan karena Indonesia saja. Tetapi kisah pengalaman pembelian pesawat tempur Sukhoi Rusia perlu kita segarkan kembali.
Pada 11 September 2010 sebanyak 3 orang teknisi Su 27 asal Rusia di Lanud Makasar tewas sehari setelah 2 Su-27 dibongkar dari pesawat angkut Antonov. Peristiwa itu sempat timbul ketegangan karena media Rusia mengatakan ada unsur sabotase di dalamya. Artikel penulis tentang hal itu dapat dilihat di sini.
Selanjutnya terjadi peristiwa naas terhadap pesawat komersial penumpang SSJ-100 pada 9 Mei 2012 di gunung Salak Bogor. Saat itu timbul dugaan adanya persaingan tajam antara perusahaan Boeing dan Sukhoi untuk pasar penumpang komersial di Indonesia. Setelah peristiwa faktanya Indonsia gagal meneruskan rencana pembelian SSJ-1oo Sukhoi.
Pembelian pesawat Su-35 adalah hak kedaulatan kita tapi perlu disikapi dengan cara bijaksana, salah satunya adalah membuka kran "2 pintu" seperti dilakukan India, tetap memesan helikopter chinok, misil udara ke udara dan lain-lain.
Hal sama bisa kita terapkan dengan membeli Su-35 tapi juga tetap membeli peralatan tempurnya dari AS misalnya transportasi Hercules dan sebagainya jika memenuhi anggaran.
Tampaknya AS (dengan alasan CAATSA) tidak akan efektif menekan sebuah negara melarang kerjasama militer dengan Rusia selama negara bersangkutan memberikan pengertian dengan sikap tegas dan lugas, bukan dengan marah-marah, emosi apalagi melawan.