"Salam Nasional" dimaksud di sini bukanlah dalam pengertian salam politik yang pernah diajarkan oleh bung Karno pasca Kemerdekaan Repulik Indonesia pada 1945 yaitu dengan menaikkan siku sejajar dengan bahu dan kelima ibu jari merapat (melebar) di sebelah telinga, lalu orang akan meneriakkan "Merdekaaaaa...!"
Salam nasional yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah salah salam sesungguhnya (meski dari jauh) apakah dengan kiriman ucapan via medsos atau malah di dalam hati ke hati (telepati) saling memohon maaf dan memberikan permohonan maaf dengan sejajar.
Salam ini bisa langsung menjalar dari Sabang sampai Merauke atau dari Miangas ke Pulau Rote alias berlaku nasional dan bisa dilakukan secara serempak sekali kirim wuuushhh untuk ratusan orang melayang ke tujuan seluruh Indonesia, mengubah daya magnit permusuhan menjadi persaudaraan yang nyaris bernatakan beberapa waktu lalu.
Tidak usah penulis ceritakan lagi bagaimana hingar bingarnya perhelatan pesta demokrasi terpelik sedunia yang baru saja kita lihat, alami dan rasakan mulai dari sebelum pesta hingga sebulan setelah persta dan puncaknya "meledakkan" angakara murka di kota Jakarta dan sekitarnya pada 21 - 22 Mei 2019.
Tidak perlu lagi bukan? Ya tidak perlu lagi karena membuka cerita itu sama dengan membuka lagi goresan luka yang sudah hampir mengering. Memperlihatkan lagi wajah-wajah suruhan pihak ke tiga dan korban yang menjadi amukan massa bahkan wajah-wajah polos yang ditunggangi untuk tujuan apapun.
Di lain pihak, petugas keamanan yang mengalami tekanan provokasi pendemo paling ganas sedunia pun tak sanggup lagi memperlihatkan wajahnya yang terpaksa harus bringas menyikapi provokasi pendemo terkeras sedunia mengalahkan cara demo anti pelantikan Prisiden Donald Trump pada akhir Januari 2017 lalu.
Kini saatnya kita saling merangkul tali kasi. Moentumnya pas sekali yaitu pada saat Idul Fitri terutama sesama muslim sepantasnya berkasih-kasihan dan bersalaman lahir dan bantin. Tak perlu menunggu siapa yang duluan ngucapian atau duluan datang, pendek kata bukalah pintu maaf sesama muslim karena sesama muslim prinsipnya adalah bersaudara.
Bahkan rekan kita yang non muslim saja ikut meminta maaf dan merasakan kebahagian di hari raya Idul Fitri dengan mengirimkan ucapan salam dan permohonan maaf. Konon lagi sesama muslim mengapa harus saling menunggu beradu gengsi .
Cairkanlah dendam kesumat di hati kita. Peluklah saudara kita meski dari jauh sekalipun. Rasakan apa getaran dahsyat di seberang sana bisa Anda rasakan meskipun belum secepat kilat membalasnya (mungkin sedang mencari frasa yang indah dan kalah menggugah hati) bikin sesama terharu dan menangis rasa..hik..hikks..
Momentu Idul terasa sangat istimewa bagi yang mau dan dapat memanfaatkannya. Yang keras menjadi lembut. Yang lembut menjadi meleleh, yang meleleh menjadi terburai dan terbentuk. Sayang sekali jika tidak ada yang memanfaatkan momentum ini.