Mungkin saja diantara yang menyerah itu terdapat orang Indonesia. Hal itu bisa saja, karena kepala staf Kepresidenan, Muldoko pernah menyebutkan "Petempur asing ISIS asal Indonesia di Suriah masih ada 590 orang. 103 orang telah tewas, 86 orang telah pulang, 539 telah dideportasi," katanya sebagaimana dikutip dari merdeka.com eidisi 22/5/2018.
Mengacu pada keterangan diatas, berarti jumlah petempur ISIS Indonesia seluruhnya termasuk yang masih di Suriah, proses deportasi dan sudah pulang dan tewas mencapai 1.318 orang.
Di sisi lain, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu juga permengatakan, Berdasarkan data intelijen, ada sekitar 31.500 pejuang ISIS asing yang bergabung di Suriah dan Irak. Dari jumlah tersebut, 800 berasal dari Asia Tenggara serta 700 dari Indonesia," kata Menhan Ryamizard di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (8/11/2018). Sumber : detik.com.
Berdasarkan dua informasi tersebut jumlah ISIS asal Indonesia antara 700 - 1.300 orang. Dirata-ratakan secara matematis adalah 1000-an orang. Sebuah jumlah yang besar jika dibandingkan total petempur ISIS (35.000 orang dari beberapa data intelijen AS).
Seberapapun jumlah petempur ISIS asal Indonesia ditambah lagi simpatisan atau korban propaganda ISIS, keberadaan mereka kini jadi dilematis untuk kembali ke Indonesia.
Dilematis antara menerima atau tidak dengan segala ekspektasi konsekwensinya termasuk konsekwensi bangkit kembali radikalisasi lebih ekstrim dimasa akan datang. Sementara dari sisi kemanusiaan mereka juga manusia butuh perhatian, butuh pendidikan, butuh perlakuan dan dilindungi sebagai warga negara.
Salah satu pelarian ISIS yang telah tiba kembali di tanah air adalah keluarga Nur Dhania. Mereka nekat berangkat ke Suriah (melalui Turki) pada 1 Mei 2015 saat ISIS sedang mencapai puncak keemasan. Dia dan keluarganya akhirnya menemukan fakta yang bertolak belakang dengan propaganda ISIS yang diterima Dhania saat kepincut pada media ISIS melalui internet beberapa bulan sebelum ia dan keluargnya pilih "Jihad" ke Suriah.
Bagaimana penyikapan negara terhadap pelarian ISIS dari Timur Tengah atau Filipina sangat rumit, mungkin mirip peribahasa makan buah simalakama, diambil mati ayah, tak diambil mati ibu. Kita dihadapkan pada dua pilihan yang sulit.
Dari sisi humanisme penulis ingatkan mau dibawa kemana mereka jika tidak diterima. Dibuang kelaut tidak mungkin. Ke hutan belantara apalagi. Oleh karenanya penulis sarankan diterima saja kembali dan diawasi.
Saran penulis, setelah dicuci kembali otaknya lalu mereka digembleng secara terpisah (lokasi berbeda) secara sistematis dalam jangka waktu tertentu. Restart wawasan mereka tentang nasionalisme. Kemudian berikan tugas (dalam pengawasan) tanggung jawab sebagai tenaga katalisator anti radikalisasi. Pengalaman mereka sebagai korban tipuan ISIS atau korban kebodohan sendiri dapat digunakan sebagai "penawar" bagi gerakan radikalisasi (terbuka maupun bawah tanah) yang siap mengintip calon korban radikalisasi apapun nama dan bentuknya di masa akan datang.
ISIS kini dinyatakan kolaps. Meski ISIS kolaps perlu diwaspadai sel-sel tidurnya akan tetap eksis dan membahayakan. Jadi jangan terlena. Terlebih lagi jangan sampai terlena dengan propaganda mirip ISIS dimasa akan datang untuk ke sekian kalinya..