Beberapa ahli mengaitkannya dengan aktifitas Anak Gunung Krakatau (AGK) yang semakin "rewel" akhir-akhir ini. Mungkinkah rewelnya si AGK akibat tekanan lempengan Eurasia kalah kuat menahan gempuran lempengan IndoAustralia sehingga palung-palung yang ada sekitar Indonesia menjadi runtuh dan menganggu aktifitas gunung berapi? Cuma para ahli yang dapat menjawabnya.
Di sisi lain, rewelnya AGK juga semakin menjadi-jadi sejak genderang perang persaingan RI-1 semakin membahana. Lihat saja daftar aktifitasnya selama persaingan RI-1 semakin tajam, si AGK juga tak kalah diam, akibatnya lebih separoh tubuhnya yang di atas permukaan telah meleleh ke dalam laut selat Sunda.
Akibat batuk nya tidak sembuh-sembuh AGK mengalami longsor di bagian bawahnya hingga memicu tsunami langka tapi nyata seperti yang terpaksa harus diterima akibatnya oleh saudara-saudara kita yang terkena musibah tersebut. Peristiwa batuk-batuknya AGK menjadi-jadi saat genderang Pilpres ditabuh semakin kuat oleh pendukungnya masing-masing.
Sesungguhnya tidak ada kaitan antara runtuhnya tebing di beberapa palung terdalam di samudera dekat negara Indonesia dengan genderang pilpres 2019. Dan sesungguhnya tidak ada juga kaitannya antara pertarungan lempengan IndoAustralia vs lempengan Eurasia-- dimana Indonesia menjadi ujung tanduk pertarungan tersebut-- mengikuti gerahnya adu taktik pilpres 2019. Rewelnya AGK pun sesungguhnya bukan karena protes pada hingar bingarnya pilpres panas kali ini.
Secara ilmu pengetahuan, penyebab negeri ini didera musibah adalah karena negeri kita (secara geografis) berada dalam lingkaran ring of fire sehingga risikonya adalah gempa tektonik dan vulkanik yang dipicu oleh pertarungan lempengan, runtuhnya tebing palung dan letusan gunung berapi. Pantas rasanya disebut negeri "Cincin Api."
Selain dikelilingi cincin api, Indonesia juga dikawal oleh beberapa palung yang dalam, antara lain adalah : Java (Sunda) Trench; Philipine's Trench.; Mariana's Trench dan Bouganville's Trench di ujung Papua.
Negeri ini pun ditopang oleh tak kurang 65 gunung berapi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan Dari Miangas hingga Pulau Rote, rasanya semakin melengkapi betapa gagahnya negeri ini menerima kenyataan dikepung oleh aneka macam potensi bencana.
Di bumi ini terdapat 20 palung dalam di seluruh samudera, diantaranya yang dalam ada 10 palung. Palung terdalam adalah palung Marina, kedalamanya hampir 11 km. Sedangkan palung Sunda juga termasuk palung laut dalam. Tidak tertutup kemungkinan runtuhnya tebing-tebing palung terdalam dunia sekitar selat Sunda, Filipina dan di samudera Pasifik itu berkontribusi menghadirkan tsunami tanpa gempa.
Peristiwa gempa, tsunami, letusan gunung (termasuk berapi) telah berulang kali bahkan sejak 70.000 tahun sebelum masehi ketika gunung Toba di Samosir meletus meninggalkan kawah beruba danau Toba saat ini. Peristiwa tsunami besar pun pernah melanda Indonesia berkali-kali beratus-ratus tahun yang silam. Begitu juga gempa akibat pertarungan lempengan EuroAsia dan IndoAustralia terus terjadi dari masa kemasa sejak bumi tercipta. Jadi peristiwa-peristiwa itu bukan akibat gemuruhnya persaingan pilpres sedang melanda negeri kita akhir-akhir ini.
Meskipun demikian ada baiknya juga waspada dan introspeksi, siapa tahu alam pun bisa ikut marah (setidaknya protes) melihat keanehan ummat manusia di atas muka bumi ini mempertontonkan bringasnya persaingan pilpres kali ini, termasuk merusak ketenangan alam, mengotori lingkungan, membohongi warga dan lebih esktrim adalah menantang alam yang sedang "sakit."
Pemilu presiden saat ini seakan-akan panggung perang saudara paling sengit sejagat raya berpotensi memecah persatuan dan kesatuan, padahal fakta membuktikan tidak mudah bagi presiden siapapun mengurus bangsa dan negara cincin api ini. Jargon-jargon calon Presiden yang ditabuh oleh tim sukses masing-masing selalu begitu saja setiap menjelang Piplres, seakan-akan mereka sanggup mengobati sakitnya negeri ini dalam sekejab.