Perang Suriah yang awalnya dituding akibat sikap represif Polisi dan Militer dalam menyikapi ketidak puasan terhadap pemerintah Bashar al-Assad tidak terlepas dari rentetan semangat Arab Spring (Musim semi Arab). Demonstrasi kecil itu belakangan berubah menjadi perang Proksi terbesar abad modern seperti terlihat hingga saat ini.
The Arab Spring bermakna sesungguhnya adalah Gelombang unjuk rasa yang melanda di sejumlah negara Arab (meskipun yang berunjuk rasa tidak semua bangsa Arab) diawali dari revolusi Tunisia ketika rakyatnya menjatuhkan pemerintahan Zine el-Abidine Ben Ali pada 18 Desember 2010. Gelombang itu merayap ke Mesir lalu ke Libya, terus ke Bahrain dan Suriah serta beberapa negara lain di kawasan timur tengah meskipun jenis pemberontakannya berskala kecil dan dapat diredam.
Perang Suriah telah berubah menjadi perang proksi yang melelahkan dan tidak habis-habisnya sebagaimana disebutkan di atas. Patah satu tumbuh seribu. Hilang satu muncul ribuan, hancur satu muncul lebih banyak, kalah di satu tempat menang di tempat lain. "Oh Tuhan, kapankah derita ini akan berakhir," ungkap batin pengungsi Suriah di berbagai camp pengungsi di sejumlah wilayah di luar Suriah.
Perang proksi dengan aneka trik dan intrik kasat mata tapi dapat dilihat pergerakannya detik demi detik, jam per jam, hari demi hari hingga berbilang bulan dan berulang tahun dapat dilihat pergeraknnya dan arahnya serta teknisnya di dalam kancah perang Suriah.
Gagal dalam mendukung pemberontak atau tentara pembebasan Suriah (FSA) dukungan AS, proksi barat mendukung Pasukan Demokratik Kurdi (SDF) dan pada titik-titik tertentu dengan taktik rahasia terpaksa melindungi ISIS bahkan membantu pemberontakan ISIS demi mengalahkan proksi Rusia.
Kegagalan Turki menyelaraskan kepentingannya dengan barat membuat Turki murka dan memilih bekerjasama dengan proksi Rusia meskipun tidak secara langsung mengakui pemerintahan Suriah. Misi Turki menguasai kawasan Idlib dan kawasan yang dikuasai SDF (Kurdi) mendapat lampu hijau Rusia. Meski dilematis Turki memilih kerjasama dengan Rusia/Iran ketimbang dengan proksi barat pimpinan AS.
Sikap dilematis Turki sedikit tidaknya telah berkontribusi membantu posisi SAA (pasukan Suriah) dan milisinya mengalahkan ISIS dan sejumlah titik pemberontak FSA yang tidak didukung Turki. Menjelang akhir tahun 2017 sebanyak 95% wilayah Suriah yang direbut ISIS sejak 2014 telah dikuasai kembali oleh pasukan Suriah. Sementara itu sejumlah wilayah yang dikuasai pemberontak FSA sedikit demi sedikit jatuh kembali ke tangan SAA. Beberapa kota terbesar diantaranya adalah Palmyra, Deyr Ez-Zoor, Aleppo dan Al-Bukamal berhasil direbut kembali pada 2017.
Meski ISIS nyaris dikalahkan dan sejumlah kawasan pedesaan berhasil direbut kembali dari pemberontak potensi perang Suriah kelihatannya masih jauh dari harapan berwujud damai. Alasannya adalah :
Proksi barat tidak kehabisan akal dan modal untuk meneruskan perang proksi dalam rangka berebut pengaruh geopolitik di timur tengah dan tentu saja berebut potensi sumber daya alam (minyak dan gas) di kawasan tersebut.
Pasukan demokratik Kurdi dukungan AS (SDF) yang didalamnya berada kekuatan besar milisi Kurdi pria (YPG atau Peoples Protection Units), unit wanitanya (YPJ) dan polisi khusus Rojava (Rojava Asayish forces) serta puluhan sayap milisi dibawah kendali masing-masing telah diperkuat oleh AS/barat sejak 2 tahun terakhir dengan sangat kuat di kawasan Kurdi Suriah.
Setali dua uang (mirip) dengan Kurdi di Suriah, di kawasan lain Kurdi Irak juga diperkuat oleh proksi barat. Pasukan Peshmerga yang di dalamnya berada kekuatan besar milisi PKK (serta puluhan sayap milisi dibawahnya) juga telah diperkuat dengan persenjataan sejak operasi menjatuhkan Saddam Hussein dan terlebih lagi saat perang Suriah dan kampanye perang terhadap ISIS di Irak sedang ditingkatkan.