Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris Borris Johnson dalam pertemuan khusus dan terbuka dengan Menlu Rusia, Sergei Lavrov kemarin 23/12/2017) dalam kunjungan spesial ke Moskow meminta klarifikasi Rusia secara langsung atas tuduhan telah mengintervensi pemilihan umum (Referendum) keluarnya Inggris dari masyarakat ekonomi Uni Eropa (UE). Referendum yang telah dilaksanakan pada 23 Juni 2016 lalu menghasilkan 72,2% suara pemilih setuju Inggris keluar dari UE.
Lebih dari satu setengah tahun peristiwa Referendum itu telah berlalu namun baru kemarin (22/12/2017) Menlu Johnson dan rombongan bertemu dengan counterpartnya Lavrov meminta klarifikasi langsung guna mengakhiri kebuntuan issue tentang peranan Rusia mempengaruhi hasil akhir suara referendum sebagaimana disebutkan di atas melalui serangan Cyberwarfare (perang siber).
Mudah ditebak, bukan bangga atau jumawa, Lavrov malah menolak tudingan tersebut dengan sangat diplomatis. Lavrov menjawab Inggris telah "tersandera" oleh opini komunitas baratnya sehingga sulit sekali untuk keluar melihat fakta sesungguhnya. Tanpa memberikan statemen yang jelas bahwa pemerintah atau intelijen pertahanan Rusia telah atau tidak campur tangan dalam masalah tersebut. Sumber : The Telegraph
Tudingan terhadap intelijen pertahanan Rusia memainkan perang siber bukan sekali ini saja terjadi. Dalam pemilu presiden AS 2016 Rusia juga dituding memainkan perang siber guna mempengaruhi hasil akhir Pemilu sesuai kepentingan Rusia yakni Donald Trump menjadi pemenang. Dengan metoda menyerang lalu mengubah dan menghapus data registrasi pemilih (voter regsitration system) dalam database komputer milik partai Demokrat Democratic National Committee (DNC) di 21 dari 50 negara bagian. Intervensi Rusia itu dituding menjadi sebab kegagalan Hillary Clinton sekaligus memupus asa "pemecahkan rekor" sejarah baru AS dipimpin pertama sekali oleh seorang wanita bahkan oleh seorang mantan ibu negara.
Persoalan yang kini telah membuat kegaduhan dalam politikl dalam negeri AS itu disebut sebagai aib Trump telah menyeret sejumlah nama besar seperti Michael Flynn, Jared Kushner dan mantan Dirut FBI, James Comey, Mike Rogers dan lain-lain membuat posisi Trump terasa sangat dilematis.
Sejumlah lembaga berwenang AS telah menyampikan secara resmi bukti dan keterlibatan Rusia dalam kasus Pilpres AS dalam joint statement setahun lalu pada 2 Desember 2016 bahwa Rusia terlibat dalam mempengaruhi Pilpres AS seperti dilontarkan oleh James Clapper, mantan Dirut FBI kepada CNN beberapa waktu lalu.
Terhadap tudingan ini Rusia bergeming, tidak mengakui hal tersebut. Upaya curi-mencuri data pejabat kerap terjadi dimana-mana. Bahkan upaya menembus email, komputer Presiden Putin bisa terjadi 8 hingga 10 kali dalam sehari, "Akan tetapi kami tidak menuding Gedung Putih telah melakukannya," ujar salah satu juru bicara Putin menanggapi tudingan AS tersebut. Sementara itu Sergei Ryabkov, Deputi Menlu Rusia, menanggapi enteng tudingan AS terhadap negaranya, tidak lain adalah sebuah trik kotor pemerintahan AS saat ini. (The Guardian).
Tudingan lain terhadap Rusia menjalan serangan siber juga terjadi di Georgia terahdap sebauh perusahaan AS, The US. Cyber Consequences Unit (US-CCU) pada 2008 dalam upaya membantu Georgia dalam perang Ossetia.
Selain itu tudingan sama datang dari Jerman. Pihak intelijen Jerman menemukan upaya Hecker Rusia mempengaruhi pemilihan Umum Parlemen Jerman. Bruno Kahil direktur BND (Bundesnachrichtendienst) atau The Federal Intelligence Service (CIA-nya Jerman) telah memperingatkan hal itu pada Desember 2016. Kemudian pada 21 September 2017 atau 3 hari sebelum hari Pemilu parlemen Jerman dilaksanakan, portal berita AS, NYT dalam beritanya (saat itu) memberitakan ada indikasi Rusia akan terlibat dalam hal tersebut.
Daftar korban serangan siber Rusia juga terjadi dalam pilpres Ukraina 2014. Intelijen Rusia dituduh menyerang komputer Komisi Pemilu Pusat Ukraina. Selain itu juga telahmembocorkan sejumlah email pejabat kepada umum dan berusaha mengubah hasil pemilu dan menunda pengumuman hasil pemilu. Tak perlu menerka tanggapan Rusia menanggapi hal tersebut jika dikaitkan dengan posisi Ukraina dalam perang di Donbass yang pecah sejak 6 April 2014.
Apa dibalik motif menuding Rusia (disamping Korea Utara) sebagai pelaku serangan siber paling berbahaya saat ini harus dicermati dengan bijaksana mengingat pihak Rusia berkali-kali menolak tudingan tersebut. Meski penolakan itu pun tidak dapat dijamin benar namun penolakan resmi adalah hak sebuah negara dan patut untuk didengar meskipun belum tentu dapat dipercaya, apalagi ternyata aksi Siber tersebut membuat kerugian bagi kelompok, organisasi atau negara lain.