[caption caption="ilustrasi Recall di Partai Politik dan DPR. Gambar : berbagai sumber. dok abanggeutanyo "][/caption]
Recall sebuah istilah dalam ilmu Politik yang berarti memanggil kembali (pulang) anggota parlemen telah dikenal di tanah air sejak Orde Baru. Meski Dewan Perwakilan Rakyat terbentuk pada 29 Agustus 1945 seiring dengan terbentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai cikal bakal lahirnya DPR RI namun istilah "Recall" baru terasa hangat sejak jaman ode Baru (orba) terutama ketika Soeharto menjadi Prisiden RI ke 2.
Dengan menerbitkan UU No.10 tahun 1966 ajian sakti (katanya) untuk memperjelas ruang lingkup dan tatanan DPR RI, tetapi dibalik itu menyimpan "jebakan maut" hadirnya "Hantu Recall" yang siap melumat siapa saja anggota dewan yang tidak memperlihatkan haluan yang sama dengan para penguasa otoriter Orba.
Soeharto piawai sekali mengemas simfoni DPR sebagai corong pendukung kekuasaannya yang apik. Hampir seluruh praktek politik dan aturan produk DPR pasti bermuara pada kepentingan oligarki kekuasannya dan kroninya. Salah satu bentuk kepiawannya secara tidak langsung adalah (memaksa) terbentuknya lembaga Recall di setiap Partai Politik.
Pada zaman Orba momok paling ditakuti setiap anggota dewan adalah Lembaga Recall yang terdapat di setiap Partai Politik (parpol) tempat algojo DPP Parpol menamatkan riwayat perjalanan karir politik seorang sebagai anggota dewan dari partainya sendiri.
Setelah zaman Orba tumbang, sang Hantu Recall sempat ngelayap pergi untuk sejenak hingga masa Reformasi ternyata berjalan tidak sesuai dengan harapan. Akibatnya, seiring zaman Reformasi yang tidak sesuai harapan rakyat sang Hantu Recall kembali gentayangan di gedung dewan.
Khusus di tingkat DRR RI, korban Recall sebagai anggota Dewan (DPR RI) pada zaman Orde Baru hingga jaman Presiden Joko WIdodo yang dapat penulis ingat antara lain adalah :
Pertama sekali hantu Recall terjadi di tubuh Golongan Karya (Golkar) memecat anggotanya sendiri Rahman Tolleng (anggota DPR periode 1972-1977) karena dituduh berkomplot dengan organisasi lain dalam peristiwa Malari yang meledak pada 15 januari 1974. Sesuai mekanisme dalam UU No.10/1966), ketua DPP Golkar saat itu, Amir Moertono mengusulkan kepada pimpinan DPR/MPR Adam Malik dan disetujui Presiden Soeharto.
Pimpinan PDI, Soenawar Soekawati pada 1977, melakukan recall terhadap anggotanya sendiri anggota DPR RI periode 1977-1982 yaitu : Abdul Madjid, Abdullah Eteng, ibu D,Walandow, Soelomo dan Santoso serta TAM Siamtupang. Dosa mereka adalah tidak taat pada partai.
Kemudian PDI pada era pimpinan Soerjadi (bukan Soerjadi Sudirdja-red) sejumlah anggota dewan lainnya (periode 1982-1987) pun tamat kariernya yakni, Dudi Singadilaga, Efendi, Eddy Junaidi, Marsoesi, Jaffar, Kemas F, Suparman dan Talib Ali. Dosanya sama, tidak taat kepada partai dalam beberapa kali peristiwa penting untuk kepentingan partai di Senayan.
Pimpinan PPP, H Naro pada 19 Desember 1984 mengusulkan kepada pimpinan DPR/MPR (juga sesuai mwkanisme dalam UU No.10/1966) saat itu Amir Machmud, memecat anggotanya sendiri anggota DPR periode 1982-1987 yaitu Syraifuddin Harahap, Ruhani Abdul Hakim, Darusman AS, MA Ruhani Gani, Chalid Mawardi, Rusli Halil, Murthodo dan Tamim Achda. Meski tidak ditruskan ke Presiden oleh Amir Machmud, teor terhadap anggotanya sendiri oleh DPP PPP membuktikan hantu recall telah mulai kental dikenal dalam dunia politik saat itu.
Bambang Warih, anggota DPR periode 1993-1998 dari Golkar juga dibuat gulung tikar oleh partainya karena dianggap menyalahi tataterti partai.
Berikutnya, pada 1995, giliran Sri Bintang Pamungkas, juga direcall dari PPP (partainya sendiri) karena dianggap telah melakukan dosa politik secara terang benderang yakni sangat vokal menentang alur simfoni penguasa tiran Orde Baru. Usulan tersebut mulus sekali, disetujui ketua DPR/MPR saat itu, Wahono hingga sampai ke Presiden dan disetujui dengan sangat cepat.
Sempat menghilang pada 1998 dengan munculnya gerakan reformasi yang merambah ke Senayan, UU nomor 10/1966 yang dalam sejarahnya mengalami beberapa kali penyempurnaan itu pun musnah, tidak diberlakukan lagi seiring dengan arus perubahan ditandai dengan lengsernya Soeharto dan terbitnya UU N0.4/1999 beraroma lebih demokratis dalam hal recall me-recall. Untuk sementara ganasnya hantu recall berhasil dikurangi meski tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Lain dahulu lain pula sekarang. Walaupun telah berganti baju dan bermake up dan berdandan lebih segar Hantu Recall masih bergelayut di atap gedung dewan yang mulai renta itu. Jika dahulu disebut "Recall" kini namanya dikemas sedemikain rupa misalnya : Di Non Aktifkan atau Dipecat atau lebih halus Di PAW-kan (Pergantian Antar Waktu-kan).
Berganti nama, berganti tampilan dan berganti wujud, si hantu yang bikin keder setiap anggota dewan itu ternyata terus mengawasi anggota DPR RI yang datang dan pergi silih berganti setiap 5 tahun meski beberapa diantaranya muncul lagi wajah lama menggunakan kendaraan baru tapi wajahnya serasa dikenal habis si hantu recall dalam berbagai hal urusan dewan sampai urusan pribadi.
Berkurangnya keganasan hantu recall pada masa reformasi diharapkan akan menghadirkan nuansa demokratis di dalam DPR khususnya hal kebebasan anggota dewan di DPR RI. Namun demikian si hantu recall tak pergi jauh dari gedung kesayangannya tersebut. Hanto Recall ternyata muncul kembali dengan berlakunya UU pengganti yang lama (No.4/1999) yakni terbitnya UU No.22/2003.
Korban hantu recall pada masa Reformasi pertama sekali terjadi pada Djoko Edhi Soetjipto AR anggota DPR periode 2004-2009 di-recall partainya sendiri PAN karena dituduh melanggar tatatertib partai dengan ikut serta studi banding ke luar negeri bersama beberapa anggota DPR dari partai lainnya.
Sebelumnya ada beberapa anggota dewan dari PKS, PPP, PBR dan Demokrat yang dinonaktifkan (mengganti istilah recall) yang jadi korban yakni Lutfi Hasan, Arifinto, Anas Urbaningrum, Marissa Haque, Angelina Sondakh, Bulyan Royan dan Al-Amin.
Terakhir Hantu Recall menampakkan wujudnya dan makan korban kembali. Kali ini Lily C. Wahid dan Effendi Choiri (anggota DPR periode 2009-2014) di-recall partainya PKB karena berseberangan dalam sidang paripurna kasus Bank Century dan Mafia Pajak, keduanya dinonaktifkan oleh PKB.
Dahulu Hantu Recall bekerja untuk memperkuat olikarki dan hegemoni penguasa otoriter, kini, hantu recall bekerja untuk kepentingan oligarki Pimpinan Pusat Partai. Oleh karenanya, meski berganti tampilan dan nama, sorot mata si hantu ini masih tetap tajam mengincar beberapa anggota dewan yang memenuhi unsur sebagai berikut :
- Merasa diri kuat, tak terjamah hukum dan mampu mengendalikan DPR dan seluruh infra struktur dan supra stuktur DPR. Hantu Recall telah menyediakan kursi panas dan memaksa tempat untuk lengser bagi ketua DPR RI, Setya Novanto.
- Terlalu rakus dan tamak menggali peluang duit dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, hantu Recall telah mengirim sejumlah anggota dewan ke penjara dan karangkeng sementara di KPK. Lutfi Hasan dari PKS meski bukan korban hantu recall tapi peranannya ada di sana, wujudnya hanya berganti dandan saja. Hal yang sama terjadi pada Anas Urbaningrum, dinonaktifkan alias recall dari Demokrat. Sama halnya nasib Angilina Sondakh.
- Terlalu over acting menggunakan hak interpelasi tidak pada tempatnya, hantu Recall mengejek mereka agar lebih tepat masuk ke Taman Kanak-kanak ketimbang masuk ke gedung dewan.
- Merasa paling pintar dan jago mengkritik atas nama rakyat padahal untuk kepentingan partai dan koalisi, hantu Recall siap menggiring sejumlah anggota dewan berperangai seperti itu akan menerima hukuman Recall dari partainya.
- Sering bolos, mengantuk terlibat skandal dan punya hobi maksiat telah tertutup pintu masuk kembali ke Senayan untuk mereka. Arifinto dari PKS telah menjadi korban hantu Recall pada Nopember 2011 lalu.
- Berseberangan dengan ketua umum partai atua DPP partai. Sorotan si hantu recall kini tertuju pada Fahri Hamzah karena terlalu maju dalam hal keberanian. Satu lagi yang sedang diincar adalah petinggi di DPR meski sangat ia sangat dipercaya partainya menjalankan misi sejenis Top Gun untuk partainya. Si Hantu recall juga sedang mengintip dua orang pejanat teras dari Golkar tinggal menanti saat yang tepat akan dikorbankan oleh partainya akibat terjebak pada sejumlah jebakan (masalah) seperti disebutkan di atas.
Pantas hantu Recall tak habisnya diributkan anggota dewan. Jika dahulu Recall dijadikan alasan memasung kebebasan anggota dewan sehingga lebih sering menunggu arah dan kebijakan pimpinan partainya, ternyata setelah reformasi tidak ada perubahan signifikan anggota sebagaimana tuntutan penghapusan Recall di jaman Orba.
Dahulu mengkambinghitamkan recall sebagai pemasung kebebasan sehingga tidak mampu berekspresi untuk kepentingan rakyat namun yang telihat kini (pada umumnya) memperoleh kebebasan yang tidak terkontrol bahkan kelewat batas karena banyak yang kurang mengedepankan etika dalam berpolitik dan bernegara.
Kebebasan yang diperoleh sejak era Reformasi terkesan kekanakan, kurang empati, kurang moralitas dan cenderung eforia menjadi anggota dewan tapi bukan menjadi anggota dewan sejati. Bersiaplah jika "Hantu Recall" datang menjemput, hehehehe...
Salam Kompasiana
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H