Grigson pasti telah melihat dan mengetahui sejumlah fakta sejak setahun terakhir bagaimana pemerintahnya -dalam kendali- Tony Abott tak habis-habisnya mencecar Indonesia dan memberikan peringatan pada sejumlah konsekuensi yang bakal dihadapi pemerintah Indonesia jika eksekusi Duo Bali Nine dijalankan, antara lain adalah:
- Memutuskan kerja sama Komisi Yudisial antar negara
- Menghentikan kerja sama polisi Federal Australia kepada Polri dan Kopassus
- Menghentikan dan memotong A$ 600 juta bantuan luar negeri Australia kepada Indonesia pada tahun ini.
- Tidak akan membantu Indonesia dalam fit and propert test tentang peluang Indonesia mengambil keuntungan dalam kerja sama ekonomi di tingkat dunia.
- Tidak akan mengirim utusan pejabat tinggi militer Australia pada saat pensiun masa bakti Jenderal Moeldoko sebagai Panglima TNI.
- Menangguhkan pertemuan penting antarpejabat menyangkut kerja sama militer, pendidikan, keamanan dan bidang hukum.
- Akan terlibat dalam sanksi ekonomi apabila dijatuhkan pada Indonesia di masa yang akan datang.
Lihatlah betapa murkanya pemerintah Australia, bukan? Tapi menurut penulis tidaklah begitu sebenarnya dalam pandangan Mr Grigson. Ia paham betul bahwa posisi dan peranan Indonesia sangatlah penting bagi Australia, sama halnya dengan peranan Australia pada Indonesia.
Hubungan baik dengan Indonesia telah berjalan pasang-surut, namun lebih banyak pasangnya ketimbang surutnya. Hal ini menandakan bahwa hubungan Australia dan Indonesia BUKAN bergantung pada Duo Bali Nine semata meski penulis yakin bahwa ia amat terpukul dengan kenyataan tersebut seperti kita juga pada umumnya sangat menyesali kepergian mereka semua (termasuk Duo Bali Nine) di ujung timah panas regu tembak pada dini hari 29/4 barusan.
Grigson mungkin teringat pesan salah satu negarawan kondang Australia yang paling terkenal, yaitu Paul Keating mantan PM Australia. Dalam sebuah kunjungannya di Indonesia pada 1990, Keating mengatakan: "No country is more important to Australia than Indonesia. If we fail to get this relationship right, and nurture and develop it, the whole web of our foreign relations is incomplete " kata Keating dengan menanyakan tiga kali berturut-turut, "Why can not we be friends? Why can not we be friends? Why can not we be friends?" betapa strategisnya Indonesia bukan sekadar basa-basi.
Hal ini ditindak lanjuti Keating dengan melaksanakan kerja sama ekonomi (ekspor dan impor) saling membutuhkan di mana pada 1999 ekspor Australia ke Indonesia mencapai hampir 290 juta dolar. Sedangkan impor Australia dari Indonesia hanya sekitar 130 juta dolar pada 1999. Sumber : wikipedia.org
Ini adalah fakta yang dilihat oleh diplomat cerdas seperti Grigson. Ia menemukan paradigma obyektif yang memperlihatkan Indonesia memang sasaran empuk untuk meningkatkan perekonomian Australia ketimbang menjadikannya sebagai musuh. Ratusan juta penduduk Indonesia adalah sumber pemasukan bagi negaranya ketimbang membuat penduduk Indonesia tidak menggantungkan lagi harapannya pada Australia.
Grigson juga pasti tahu bahwa Indonesia adalah peminjam terbesar dana dari Australia yang berarti Australia perlu menjaga hubungan baik dengan pelanggan (debiturnya) bukan dengan membuatnya pergi entah ke mana meninggalkan segudang hutang yang tak jelas rimba saat dan cara pengembaliannya.
Kesimpulannya, Grigson tidak melihat sikap melankolis Tony Abott dan Julia Bishop sebagai hal yang serius, artinya ancaman tersebut tidak akan pernah terjadi dan tak perlu terjadi. Indonesia bukan mau melawan atau menantang Australia, tapi ia menjalankan produk hukum di negerinya sendiri. Jadi mengapa harus kita ancam, tokh yang rugi juga kita sendiri. Mungkin begitu dalam pandangan Grigson yang penulis tangkap dari pengamatan sikap dan tindak tanduk Paul Grigson dari aktivitas akunnya dalam setahun lebih menjabat Dubes Austrlalia untuk Indonesia.
Kita tidak tahu apakah dengan tulisan ini lantas akun Twitternya langsung dihapus atau hilang mendadak? Atau tiba-tiba Grigson digantikan oleh penerusnya? Tulisan ini juga TIDAK bermaksud memecah hubungan baik Grigson dengan "big boss" atau pemerintahannya di Australia.
Sesungguhnya ia telah mencoba pendekatan psikologis dengan pemerintah Indonesia sejak Maret 2014 melalui sejumlah sikap yang dewasa, ikhlas, bersahabat, setara dan seimbang dengan pemerintah dan rakyat Indonesia. Meski sikap dewasa menjurus tenang tersebut ternyata tidak membuahkan hasil, kita dapat melihat indikasi apa di balik sikap tenang Mr Grigson ini terhadap hubungan ke dua negara. Ancaman yang ditebar oleh Toni Abott dan Julia Bishop tidak akan seraparah itu dampaknya.