Mohon tunggu...
Ade Rachmat Fikri
Ade Rachmat Fikri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Abak Kalifah

Bukanlah kematian yang kutakutkan, tetapi kehidupan lah yang kutakuti.. takut tidak dapat berguna dan memberikan kebaikan hati pada orang banyak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesederhanaan Penduduk Yogyakarta

18 Mei 2016   15:23 Diperbarui: 18 Mei 2016   15:35 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta (Yogya) bagi saya terlalu kompleks. Susah di lukiskan dengan kata-kata, karena Yogya itu luar biasa dengan segala karakteristik budaya luhur dan elok yang ada di dalamnya, belum lagi keramahan orang Yogyakarta (Yogya) yang memang akrab di telinga kita, sederhananya Yogya memang istimewa. Para pencinta traveling pasti tau Yogya, karena di Yogya banyak sekali tujuan wisata yang bisa kita nikmati dari panorama alam baik pantai maupun pegunungan, ataupun tempat-tempat lainnya serta kuliner dan juga tempat belanja yang pas di kantong khalayak ramai. Mari kita berhenti sampai disitu untuk mengulas wisata Yogya lebih jauh karena akan panjang sekali bila di paparkan secara luas. kali ini saya akan menggambarkan bagaimana orang Yogya menjalani hidupnya dengan sederhana.

Siang tadi ketika saya baru saja membeli makan, sewaktu perjalanan pulang menaiki kendaraan roda dua, saya melihat seorang Bapak berumur berkisar 50 tahunan (foto tak sempat saya ambil) sedang berjalan di dekat tugu garuda Stadion Maguwoharjo pakaiannya rapih tetapi dari posisi saya tercetak jelas keringat di kemeja biru yang Bapak gunakan. 

Saat itu saya berpikir mungkin rumah si Bapak dekat dari sana, jadi saya lewatkan saja. Tak jauh dari pertigaan tersebut ada sebuah warung dan saya mampir dahulu memberi air minum. Tak lama berselang si Bapak tadi melewati warung tersebut, setelah selesai urusan saya di warung itu saya nyalakan kendaraan saya lalu mendekati beliau untuk mencoba menawarkan beliau naik di kendaraan saya, dari raut wajahnya beliau tak nampak keraguan dan langsung menaiki kendaraan yang saya gunakan.

Di dalam perjalanan saya bertanya perihal saya harus antarkan beliau kemana, dan bapak tersebut menjawab dekat Pasanggrahan. Di dalam interaksi kami tergambar bahwa beliau ini dari INSTIPER (salah satu perguruan tinggi di Yogya) awalnya saya fikir beliau bekerja disana, nyatanya tidak.  lebih jelasnya beliau turun dari shelter Trans Yogya di gerbang Jalan Nangka II tepat jalan masuk menuju kampus INSTIPER. Saya cukup terkejut karena bagi saya jarak itu cukuplah jauh untuk di pakai untuk berjalan kaki, apalagi tadi cuaca siang Yogya amatlah terik. 

Saya kurang tahu berapa jarak yang ditempuh bapak dari gapura Jalan Nangka ke depan warung tadi tapi sepulangnya saya, karena penasaran saya cek di google map tertulis bahwa dari INSTIPER ke Stadion Maguwoharjo itu 2,7 Km, belum lagi dari INSTIPER ke gapura saya kira-kira sejauh 250 M. Jadi kurang lebih sampai di warung tersbut si Bapak sudah berjalan sejauh 3 Km.

Dari obrolan kami sepanjang jalan beliau menyebutkan bahwa beliau bekerja di si sebuah proyek di daerah Kota Gede, pulang per seminggu sekali untuk mengunjungi keluarganya. Dalam pikiran saya, itu jarak yang dekat karena masih di seputaran Yogya juga tapi kok si Bapak pulang seminggu sekali. Untuk bertanya lebih jauh saya terlalu segan karena takut disangka mencampuri kehidupan beliau.

Dari obrolan kami saya tahu beliau orang yang baik, gaya bicaranya lemah lembut seperti kebanyakan orang Yogya lainnya. Sesekali saya lemparkan pandangan ke kaca spion, terlihat jelas guratan di wajah beliau, guratan wajah memang tidak bisa berbohong. Dari guratan itu nampak jelas rasa letih Bapak yang baru saja berjalan 3 Km di siang terik. Seketika itu pula bulu roma saya bergidik, ah ini lah perjuangan seorang ayah.  

Tak terasa sambil ngobrol si Bapak memberitahukan sebentar lagi sampai, dan akhirnya si Bapak meminta saya untuk berhenti. Yang teringat jelas di memori saya ungkapan Bapak ketika baru saja turun dari kendaraan saya “Terima kasih mas, Semoga selalu diberi kesehatan dan rezeki. Terima kasih” meleleh hati saya mendegar kata-kata si Bapak. Ketika membalas perkataan beliau akhirnya saya putar dan segera menuju tempat tujuan saya.

Tak berasa karena keasikan ngobrol ternyata jalan yang saya dan Bapak lalui lumayan jauh apalagi jika di bawa berajalan kaki, karena penasaran akhirnya saya perhatikan indikator Km di kendaran roda dua saya. Saya tidak segera ke rumah, tetapi kembali ke arah warung tadi dan dari indikator tersebut terbaca secara manual 2,7 Km. Jadi kalau di total hampir 6 Km si Bapak berjalan kalau tidak ada yang mengantar atau menjemput. Jarak yang cukup jauh untuk berjalan di siang hari.

Teringat waktu saya dulu masih sering mendaki, jika bertemu jalan tanah ataupun jalur pendakian amatlah tidak masalah apapun kondisi cuacanya berapapun jauh jarak yang harus saya tempuh, tetapi begitu saya harus ketemu jalan aspal bagi saya itu sangat melelahkan karena jalan aspal itu terlihat tanpa halangan dan sudah tentu jadi seakan berasa jauhnya. Sementara jalan di belantara akan terasa sangat berbeda dan tidak kelihatan berapa jauh lagi kita berjalan, hanya berjalan dan akhirnya sampai di suatu titik perhentian.

Sekedar Informasi di Yogya, yang namanya angkutan desa/angkutan umum lainnya susah ditemukan bahkan kebanyakan tidak ada. Contohnya di daerah maguwoharjo ini angkutan penghubung antar Desa tidaklah ada. Jadi jika kita tidak punya kendaraan mau tak mau harus menuju dulu ke arah Trans Yogya, dan seperti cerita bapak di atas terkadang menuju shelter Trans Yogya membutuhkan jarak yang amat jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun