Tak dapat dipungkiri, uang bisa membawa kebahagiaan. Tetapi, tak jarang uang juga bisa menyengsarakan. Dalam kehidupan rumah tangga bisa terjadi pertengkaran jika istri menganggap suami kurang terbuka dalam hal berapa penghasilan yang didapat, terutama bagi orang-orang wiraswastawan seperti saya.
Saya punya teman baik seorang notaris bank yang sekaligus juga membuka praktek notaris dan PPAT. Sering saya berkunjung ke tempat kerjanya, di meja kerjanya yang lebar selalu terlihat bertumpuk uang gepokan setiap kali saya berkunjung ke kantornya itu. Tapi anehnya, selalu saja setiap saya datang, teman saya itu di tengah tumpukan uang di depannya selalu mengeluh kecapean bekerja dan pusing mengatur jadwal kerja, dan pemasukan-pengeluaran uang tentunya.
Sebagai seorang yang menjalani hidup sebagai wiraswastawan, terasa sekali perputaran roda kehidupan, kadang di atas-kadang di bawah, kadang mendapat hasil yang besar, kadang tidak mendapat samasekali. Atas pengalaman itu, terasa bahwa tidak selalu uang adalah segalanya.
Ketika saya tengah pas-pasan, penghasilan kurang, tetapi Gusti Alloh memberikan kenikmatan dalam bentuk lain. Kami , saya, istri, dan anak-anak makan nasi dengan lauk gehu, semacam gorengan yang dibuat dari bahan terigu dicampur toge dan tahu. Namun terasa nikmatnya bukan main.
Di kesempatan lain, sewaktu saya mendapat rizki nomplok dapat objekan lumayan hingga ratusan juta, kami sekeluarga ingin balas dendam dengan mencoba makan sekenyangnya di restoran dengan menu-menu pilihan. Tapi anehnya, kenikmatan yang kami dapat dengan makanan yang wah, ternyata masih lebih nikmat saat makan nasi berteman gehu saja. Memang ada sedikit kebanggaan bisa makan di restoran, tetapi soal rasa tak bisa mengejar.
Lalu besoknya saya menyuruh istri tidak masak apa-apa selain menanak nasi dan menggoreng gehu. Tetapi sama juga kenikmatan yang kami dapat, tetap tidak bisa mengejar kenikmatan sewaktu kondisi tengah pas-pasan. Lha iya lah, wong di restoran saja kurang nikmat, apalagi cuma sama gehu saja.
Dari situ saya sadari bahwa kunci kenikmatan ada pada rasa syukur, serta kesadaran bahwa di dunia ini berlaku hukum keseimbangan. Ketika kita dikurangi nikmatnya pada satu sisi, maka Gusti Alloh memberikan anugerah nikmat di segi yang lain. Sebaliknya ketika diberikan nikmat yang lebih pada satu sisi, maka akan dikurangi nikmat di segi yang lainnya.
Sepiring makanan berteman lauk-pauk yang lengkap di meja makan bagi orang yang berduit banyak, masih akan lebih terasa nikmat makanannya seorang yang pas-pasan apalagi jika orang yang tak punya, meski hanya makan sepiring nasi berteman tahu atau tempe saja.
Tetapi ada solusi, bagi golongan “the have” yang ingin merasakan sensasi kenikmatan ketika menikmati makanan agar sama sensasinya sebagaimana orang-orang miskin papa, yakni dengan berbagi kepada yang membutuhkan.
Jika mau makan nikmat di restoran, ajaklah serta seorang-dua orang miskin, lebih banyak orang miskin diajak, maka akan terasa semakin nikmat sensasi makanan bagi yang mengajak, sehingga dapat merasakan sensasi kenikmat makan sebagaimana kenikmatan kaum miskin papa.
Inilah keajaiban berbagi, bukan hanya dalam hal makanan, melainkan dalam segala hal. Bila ingin mendapat kebahagiaan dari apa yang kita miliki, maka kata kuncinya adalah : “Kemauan Berbagi”.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI