Membahana kalimat pidato Mentan RI Amran Sulaiman diruang Musrebangtannas 2017 diikuti para kepala Dinas Pertanian Kabupaten, Kota, dan Provinsi dari seluruh Indonesia. Acara ini bertemakan "Pengembangan Infrastruktur dan Penguatan Investasi untuk Percepatan Peningkatan Produksi dan Ekspor Pangan" di Gedung F Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017).
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memastikan dengan meyakinkan bahwa Indonesia tidak akan impor beras lagi pada tahun 2018. Hal ini karena capaian produksi dari para petani yang cukup menggembirakan. Produksi beras telah mencapai kenaikan 9 juta ton dalam tiga tahun terakhir ini dengan nilai Rp 36 triliun," atas keterangan Mentan RI Amran Sulaiman. Tahun 2016 saja, produksi padi Nasional mencapai 79,1 juta ton setara 45,84 juta ton beras. Sedangkan tahun 2017 diharapkan tercapai 78 juta ton padi setara 45,2 juta ton beras.
Dasar diataslah, yang membuat banyak kalangan perberasan Nasional percaya dan menyaksikan adanya export beras ke Malaysia baru baru ini dan untuk membuktikan dan merupakan indikator cukupnya ketersediaan beras Nasional cukup aman. Apakah mungkin persediaan beras yang kurang didalam negeri, lalu ada upaya export ? Jika ini terjadi, maka upaya export ini merupakan wujud tindak Pidana melanggar UU. Atau ada data persediaan beras yang dimanipulasi oleh pihak tertentu yang berkepentingan? Selama ini, memang importasi beras, sudah menjadi ajang bancakan transaksional bagi untung diantara para pejabat dan importir berlatar belakang kepartaian. Bayangkan saja komisi yang bisa diberikan oleh Negara pengekspor sebesar $ 20-30 pertonnya. Kalau 500.000 ton x $.30,- = $.15.000.000,-. = Rp. 204 M belum ditambah keuntungan pembayaran dari  BULOG. Selanjutnya, apakah benar beras yang masuk maksimal sejumlah 500.000 ton ? Biasanya jumlah yang masuk atas predikat impor, totalitasnya lebih besar lagi. Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli mengatakan maunya Bulog dan Menteri Perdagangana selalu ada impor beras. Karena katanya, dalam impor beras ada komisi $20-30 pertonnya. Sangat menggiurkan tentunya bagi pebisnis berbudaya rente.Â
Kita saat ini cukup heran, baru saja Menteri Pertanian RI menyatakan Indonesia tidak akan impor beras, lalu terjadi peningkatan harga beras premium dikonsumen sehingga mencapai harga termahal Rp.13.500,- per kg dengan segala alasan dan argumentasi yang seolah benar. Hal ini terjadi pada awal pekan kedua bulan Januari 2018 yang membuat berbagai kalangan cemas.
Disaat kenyataan harga beras yang mahal di konsumen inilah ada rencana dari Kementerian Perdagangan RI untuk mengimpor beras sebanyak 500.000 ton dan akan masuk pada akhir bulan Januari 2018 ini yang dikatakan oleh Mendag Enggartiasto Lukita (adakah sebelumnya konsolidasi dengan Menteri Pertanian ?). Nyata disaksikan oleh masyarakat Indonesia, rencana impor beras sebanyak 500.000 ton adalah merupakan cara mematahkan pernyataan persediaan beras yang cukup dari Mentan RI Amran Sulaiman. Artinya, dua instansi Kementerian ini memiliki data yang sangat berbeda satu sama lainnya.Â
Ada apa sebenarnya dengan Pemerintahan Joko Widodo dan JK? Sehingga banyak kalangan masyarakat yang menduga duga kemungkinan kuat adanya permainan mafia importasi untuk biaya politik ditahun politik ini. Kemungkinanpolitiking dan permainannya adalah rekayasakan terjadinya harga beras yang mahal di konsumen (ganggu kesimbangan Supply dan Demand), dengan berbagai alasan dan manfaatkan media, lalu jadikan kemahalan harga beras itu menjadi dasar untuk keputusan program importasi beras (semoga ini tidak benar). Perbedaan dan tidak akuratnya data, bisa mengundang adanya peluang manipulasi dan amburadulnya perencanaan Nasional.Â
Disamping permasalahan data beras yang tidak sama atau sinkron antar beberapa instansi Kementerian, menyebabkan semua perencanaan perberasan bisa amburadul seperti saat ini. Ditambah lagi dengan pembangunan infrastruktur yang bisa menghilangkan jumlah lahan persawahan padi terutama di Pulau Jawa  yang memiliki potensi pemasok beras Nasional sebanyak 41%. Data luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia menunjukan bahwa sekitar 41% terdapat di Jawa, dan sekitar 59% terdapat dari luar Jawa (BPS, 2006). Panjang dan lebar jalan tol dan kawasan perumahan di pulau Jawa jumlahnya berapa dan seluas inilah bisa mengurangi potensi pertanian di Pulau Jawa.
Seterusnya disamping masalah iklim, banyaknya pembangunan kawasan perumahan yang sangat pesat terjadi di Pulau Jawa yang mengambil lahan persawahan sehingga sangat mengurangi jumlah persawahan yang tadinya 41% Â lalu begitu cepat bisa berkurang. Semuanya, sangat diperlukan AMDAL yang objektif dan selaras secara berkeadilan serta diimbangi dengan perencanaan yang baik dan matang antara infrastruktur jalan tol, kawasan perumahan dengan lahan persawahan. Apakah ada perencanaan yang massif terstruktur dari Pemerintah secara menyeluruh, matang dan seimbang ? Selanjutnya angka produktifitas padi per Ha lahan juga perlu disamakan jangan ada yang menyatakan 7-8 ton/Ha atau 5-6 ton/Ha.
Pembangunan infrastruktur yang tidak partisipatif, tidak disertai dengan AMDAL atau menyusun AMDAL hanya untuk formalitas saja (dipaksakan karena target pencitraan), sangat berpeluang munculnya mafia tanah yang menyebabkan warga negara tercabut hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya, adalah merupakan beberapa persoalan yang biasa muncul dalam pelaksanaan proyek pembangunan infrastruktur. Dan ketidak setujuan warga negara atas suatu proyek disikapi dengan intimidasi dan penggunaan hukum pidana (kriminalisasi). Sudah banyak terjadi pada berbagai kasus di daerah yang tidak diangkat sebagai kasus hukum pidana. AMDAL yang benar serta objektif ini sangat penting agar ada keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
Solusi untuk segera membenahi permasalahan data yang tidak sinkron dan selaras antar Kementerian adalah :
1.Buat perencanaan yang matang antara Kementerian terkait dan sepakati serta selaraskan, sesuaikan datanya didalam setiap acara sidang Kabinet. Presiden seharusnya selalu mengingatkan agar semua data pada setiap Kementerian bersumber pada data yang sama, sehingga perencanaan bisa sama dan selaras antar Kementerian terkait. Sehingga antar Kementerian tidak ada lagi perbedaan data yang membingungkan masyarakat.