[caption caption="Sumber Foto dari Print Shoot Google Image"][/caption]
Kita membaca berbagai permasalahan di Perunggasan Nasional, baik itu dari media elektronika maupun media on-line, membuat hati dan pikiran kita bertanya tanya begitu tidak rasionalnya bisnis perunggasan di Indonesia yang berlangsung selama ini.
Coba perhatikan, seorang peternak rakyat, membeli DOC sebesar Rp. 5.000,-/ekor lalu pakannya sampai si anak ayam itu panen berumur 28 hari sebanyak 2,4 s/d 2,6 Kg pakan dan harga pakan Rp. 6.500,-/Kg. Â Harga Pokok Produksi Rp. 17.500,- s/d Rp. 18.500,-/kg hidup. Lalu harga yang terjadi dipasaran ketika si peternak menjual ayam hidupnya (Live Bird=LB) terjadi harga Rp. 16.750,- s/d Rp. 17.400,-/kg hidup.Â
Bahkan pernah terjadi selama 50 hari (bulan Januari-Februari-Maret 2016) posisi harga jauh dibawah harga pokok peternak yaitu Rp. 8.000,- s/d Rp.9.000,-/kg hidup. Dipastikan usaha budidaya peternakan rakyat rugi besar yaitu, jika per Kg-nya berat rataan 1,3 Kg per ekor, maka kerugian peternak rakyat sebesar Rp.9.000,- x 1,3 Kg = Rp.11.700,-/ekor hidup. Rataan para Peternak Rakyat memiliki hasil budidayanya sebanyak 10.000 ekor. Artinya para peternak rakyat rugi rataan sebesar Rp. 11.700,- x 10.000 = Rp. 117.000.000,- per peternak. Kalau para peternak rakyat masih ada sebanyak 10.000 peternak dideluruh Indonesia, maka kerugian para peternak rakyat sebesar Rp. 1,2 Triliun. Sebuah kerugian yang amat sangat besar secara Nasional.
Membaca berbagai keluhan para peternak rakyat, dan posisi harga LB tidak pernah diatas HPP para peternak rakyat, bisa kita menarik kesimpulan bahwa ada yang tidak beres didalam tata niaga perunggasan Nasional.
Kalau kita membaca UU No.18 Tahun 2009 yaitu Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, memang didalam Pasal-Pasalnya MEMBOLEHKAN perusahaan besar terintegrasi Vertikal melakukan pembelian horizontal dengan pertanian, perikanan, perkebunan dan membeli hasilnya, sehingga masuk kedalam integrasi vertikal mereka selama ini dan menjadikan harga komoditas ini menjadi naik harganya. Harga komoditas pertanian dan perikanan didalam negeri selalu di Kartel harganya oleh para perusahaan terintegrasi vertikal. Selanjutnya harga Kartel ini menjadi pembentuk Harga Pokok perunggasan Nasional. Lucunya, PEMERINTAH tidak berdaya untuk mengawasi dan mengatur serta menindak permainan kotor bisnis ini yang dilakukan oleh para perusahaan besar perunggasan.
Adanya uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No.18 Tahun 2009 dan bahkan ada juga uji materi di MK juncto UU tersebut yaitu UU No.41 Tahun 2014. Menunjukkan bahwa UU No.18 Tahun 2009 adalah UU yang SANGAT BERMASALAH dan tidak bersifat berkeadilan. Sekarang tergantung para Hakim MK, mampukah para Hakim MK memahami pengajuan uji materi UU tersebut dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi dimasyarakat selama ini dimana para peternak rakyat di marginalkan oleh para perusahaan terintegrasi dalam perunggasan Nasional. Selanjutnya PEMERINTAH mengabaikan atau tidak MENGERTI tentang permasalahan yang terjadi didalam perunggasan Nasional selama ini.
Tuntutan para peternak rakyat untuk kembali diberlakukannya SEGMENTASI PASAR dimana peternak rakyat memiliki sepenuhnya budidaya perunggasan dan sepenuhnya menjual hasil budidayanya pada Pasar Dalan Negeri  adalah tuntutan yang sepantasnya, karena didalam missi UUD 1945, agar sebanyak banyaknya rakyat terlibat didalam ekonomi Nasional. Pada sisi lain jika perusahaan terintegrasi ingin menjalankan usaha budidaya komersial tidak boleh lagi hasilnya dijual didalam negeri, akan tetapi sepenuhnya harus tujuan pemasaran export. Sehingga jika peternak rakyat sebagai pasarnya para perusahaan pembibitan unggas dan juga sebagai pasarnya perusahaan makanan ternak, akan terjadi rasionalisasi kualitas dan rasionalisasi harga komponen perunggasan secara Nasional. Sehingga semua pelaku peternakan Nasional bisa bersama sama menikmati kueh potensi ekonomi perunggasan Nasional.
Adanya issu akan masuknya ayam lokal dari Thailand ke Indonesia, adalah merupakan upaya pihak perusahaan terintegrasi terbesar di Indonesia untuk mengalihkan perhatian agar ayam lokal import itu bisa dipasarkan juga didalam negeri. Tidakkah ada kemungkinan kuat adanya penyeludupan budidaya ayam ras didalam bisnis ayam lokal tersebut nantinya ? Pihak Indonesia jangan di bodohi untuk kesekian kalinya oleh pihak Thailand dari pelajaran ayam ras di Indonesia. Ternyata ayam lokal Indonesia (ayam kampung) sebenarnya jauh lebih berpotensi dari ayam lokal dari Thialand baik dari segi pedagingnya maupun petelurnya. Pemerintah seharusnya menolak tawaran ayam local Thailand itu, karena ayam lokal kampung dari Indonesia jauh lebih berpotensi ekonomi daripada ayam kampung Thailand.
Kita setuju importasi jagung dan bisnis jagung di pegang oleh BULOG. Hanya saja instansi BULOG perlu cepat difasilitasi dengan berbagai jenis Silo untuk penyimpanan jagung pipil dan di sentra petani jangung perlu dibangun Silo-Silo kapasital Menengah agar terjadi tingkat kekeringan jagung pipil yang seragam sehingga meningkatkan daya jual para petani jagung. Â Â Â Â
Hai PEMERINTAH mengertikah anda sekalian bahwa protein hewani yang paling terjangkau oleh masyarakat saat ini adalah protein hewani unggas (daging dan telur ayam). Janganlah terjadi pemarginalan dan pemiskinan baru terhadap para pelaku ketersediaan hasil protein unggas yaitu peternak rakyat. Perputaran uang di bisnis perunggasan Nasional saat ini telah mencapai Rp. 460 Triliun/Tahun. Sementara para perusahaan terintegrasi perunggasan kaya raya mengeduk keuntungan didalam pasar konsumen Indonesia. Sudahkan para perusahaan terintegrasi perunggasan membayar Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai kepada Negara sesuai dengan pendapatan yang mereka peroleh selama ini ? Â (Abah Pitung)