Di era media sosial, membagikan momen kehidupan anak sudah menjadi hal yang lumrah, terutama di kalangan artis. Fenomena ini dikenal sebagai sharenting, yaitu kebiasaan orang tua berbagi cerita, foto, atau video anak mereka di media sosial. Menariknya, tren ini di kalangan artis tidak hanya dimulai saat anak mereka lahir, tetapi bahkan sejak masa pernikahan dan kehamilan. Bagi para artis, membagikan perjalanan hidup keluarga mereka bukan hanya sekadar berbagi kebahagiaan, tetapi juga menjadi strategi untuk membangun citra dan mendekatkan diri dengan penggemar.
Platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok menjadi media utama artis untuk melakukan sharenting. Konten-konten seperti momen kelahiran, perayaan ulang tahun, hingga keseharian anak mereka sering kali menarik perhatian jutaan orang. Salah satu pasangan artis yang sangat terkenal dalam mempopulerkan tren sharenting adalah Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Kehidupan anak-anak mereka, Rafathar Malik Ahmad dan Rayanza Malik Ahmad, menjadi sorotan publik yang selalu dinantikan. Akun media sosial yang dikelola untuk membagikan momen ini bahkan menjadi sumber penghasilan luar biasa. Dengan jutaan penonton, artis dapat menghasilkan pendapatan besar dari iklan, sponsor, hingga kolaborasi produk.
Faktanya, sharenting bagi artis bukan hanya soal berbagi momen keluarga, tetapi juga menjadi alat monetisasi. Konten yang menampilkan anak-anak mereka sering kali mampu menarik audiens yang lebih luas, khususnya kalangan keluarga. Tidak sedikit merek besar yang tertarik menjadikan anak artis sebagai ikon promosi karena popularitas mereka. Hal ini menciptakan peluang bisnis baru yang menguntungkan para selebritas, sehingga banyak artis lain yang mulai mengikuti jejak mereka.
Namun, di sisi lain, ada juga artis yang memilih untuk tidak melakukan sharenting. Mereka memutuskan untuk menjaga privasi keluarga, terutama anak-anak, dari sorotan publik. Langkah ini diambil karena mereka memahami risiko dari jejak digital, baik untuk keamanan maupun masa depan anak. Pilihan ini menunjukkan bahwa tidak semua selebritas merasa nyaman mengekspos kehidupan pribadi mereka di media sosial, terutama jika melibatkan anak-anak.
Bagi orang tua biasa, mengikuti tren sharenting ala artis bisa menjadi tantangan tersendiri. Tanpa tim manajemen yang mengelola risiko media sosial, orang tua sering kali tidak menyadari konsekuensi dari apa yang mereka bagikan. Informasi yang tampaknya sepele, seperti lokasi rumah atau nama sekolah, dapat menjadi ancaman keamanan bagi anak. Selain itu, jejak digital yang ditinggalkan bersifat permanen dan bisa berdampak negatif pada anak di masa depan, seperti menjadi bahan ejekan atau eksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu fenomena terbaru yang sedang tren di kalangan orang tua biasa adalah FB Pro (Facebook Professional). FB Pro memungkinkan pengguna untuk mengubah akun mereka menjadi akun profesional, yang tidak hanya mempermudah mereka dalam mengelola konten tetapi juga membuka potensi untuk menghasilkan uang dari platform tersebut. Monetisasi di FB Pro terbuka untuk seluruh pengguna Facebook yang memenuhi persyaratan, kecuali bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Syarat untuk mengaktifkan FB Pro cukup mudah. Pengguna hanya diminta untuk aktif di akun Facebook mereka, dan setelah itu akan muncul opsi untuk mengaktifkan Mode Profesional di bagian menu. Setelah diaktifkan, pengguna dapat mulai memanfaatkan berbagai fitur monetisasi yang ditawarkan oleh Facebook, seperti iklan dan kemitraan merek, yang dapat menghasilkan penghasilan tambahan. Orang tua biasa yang memilih sharenting di FB Pro dapat memanfaatkan akun mereka untuk berbagi momen anak, sambil mendapatkan penghasilan dari konten yang mereka unggah.
Meskipun sharenting terlihat menyenangkan, ada beberapa bahaya yang perlu diperhatikan. Pertama, berbagi foto atau video anak di media sosial dapat membuka risiko penyalahgunaan data pribadi, seperti identitas yang dapat digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, anak-anak yang diekspos di media sosial berisiko menjadi korban bullying atau komentar negatif yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental mereka.
Selain itu, jejak digital yang diunggah sulit untuk dihapus, dan konten yang dibagikan dapat tetap ada di internet meskipun sudah dihapus dari akun. Ini berarti anak-anak tidak memiliki kontrol penuh terhadap gambar atau video mereka, yang bisa memengaruhi privasi dan kenyamanan mereka di masa depan.Â