Saya lahir di sebuah daerah pesisir di Sumatera, tepatnya di Pulau Bengkalis, salah satu pulau terluar negeri ini. Sebuah tempat yang tenang namun penuh tantangan, tempat di mana langit selalu terbuka lebar tetapi kehidupan terasa sempit bagi sebagian besar penduduknya.
Tepat 25 tahun lalu, saya dilahirkan dalam keluarga yang sangat sederhana. Dalam pepatah Melayu, kami hidup seperti ini: kais pagi makan pagi, kais petang makan petang. Ayah saya seorang buruh tani, ibu saya seorang ibu rumah tangga yang tangguh. Kami tidak pernah punya banyak, tetapi selalu ada cukup untuk bertahan.
Sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, saya tahu sejak kecil bahwa kehidupan bukan tentang menunggu datangnya keberuntungan, tetapi tentang bagaimana kita berjuang. Sejak menamatkan bangku SD, saya sudah terbiasa bekerja menoreh pohon karet di lahan tetangga untuk mendapatkan uang jajan sendiri. Setiap pagi, saya bangun lebih awal untuk menoreh, karena sekolah saya masuk pukul 10.00 dan selesai pada pukul 17.00. Jadwal yang berbeda ini mengajarkan saya untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menyelesaikan pekerjaan sebelum berangkat sekolah, dan mengerjakan tugas sekolah di malam hari.
Namun di balik kerja keras itu, ada sebuah kalimat yang selalu menjadi pelita dalam hati saya. Kalimat itu datang dari ayah saya:
"Rajin-rajinlah belajar. Bapak tidak mau anak bapak seperti bapak."
Kata-kata itu sederhana, tetapi maknanya mendalam. Ayah tidak mengeluh atas hidupnya, tetapi ia menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya. Ia menginginkan saya melangkah lebih jauh, lebih tinggi, melampaui garis yang ia tempuh.
Sejak SMA, saya mulai menekuni dunia Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ). Dunia ini penuh dengan tantangan, tetapi juga memberi saya peluang besar untuk berkembang. Setelah bertahun-tahun berlatih dan berkompetisi, akhirnya saya mencapai puncaknya pada tahun 2018, ketika berhasil meraih Juara 2 dalam ajang MTQ Nasional di Medan. Hadiah dan segala apresiasi yang saya dapatkan dari kemenangan tersebut tidak saya habiskan begitu saja. Saya kumpulkan sedikit demi sedikit hingga akhirnya membantu saya menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2021.
Namun perjuangan belum selesai. Di akhir-akhir perjalanan menyelesaikan skripsi, saya mendapat panggilan kerja dari salah satu pesantren ternama di Sumatera Barat. Tawaran itu saya terima meskipun berat, karena impian saya sebenarnya adalah melanjutkan studi ke jenjang S2. Tetapi karena keterbatasan biaya, saya harus menunda mimpi tersebut.
Setelah 2,5 tahun mengabdikan diri di pesantren tersebut, saya mencoba peruntungan dengan mendaftar beasiswa LPDP yang berkolaborasi dengan Kementerian Agama, yang dikenal sebagai program BIB-Kemenag pada tahun 2023. Prosesnya tidak mudah, tetapi keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan terbaik untuk masa depan membuat saya terus melangkah. Alhamdulillah, berkat doa dan kerja keras, saya berhasil memperoleh beasiswa tersebut. Kini, saya melanjutkan studi S2 di kampus ternama dengan program studi Pendidikan Bahasa Arab terbaik nomor 1 di Indonesia.
Setiap tahap dalam hidup, baik suka maupun duka, adalah bagian dari perjalanan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sisa-sisa mental dari kehidupan masa kecil saya di Bengkalis---kerja keras, ketangguhan, dan tekad---selalu menjadi bekal untuk melangkah lebih jauh.
Kisah ini bukan hanya tentang saya, tetapi tentang harapan. Bahwa siapa pun, di mana pun, dengan latar belakang apa pun, bisa bermimpi besar dan mewujudkannya dengan kerja keras dan doa. Pulau kecil itu mungkin telah saya tinggalkan, tetapi nilai-nilainya akan terus saya bawa ke mana pun saya melangkah.