Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki keunikan dan keabsurdan dalam proses aksi dan reaksi sebuah fenomena sosial. Sebuah aksi sederhana, nyeleneh, dan lucu, di saat yang tepat, akan mudah viral di negeri +62 ini.
Terkadang, viralnya sesuatu di masyarakat Indonesia, mengandung isyarat tertentu. Coba ingat, ketika pemerintahan Orde Baru mau lengser, sebelumnya ada musim di mana orang-orang mencari akar pepohonan untuk dijadikan hiasan.
Akar-akar pohon digali, kemudian posisinya dijungkirkan, lantas dijadikan pajangan di teras rumah. Sebagian orangtua mengatakan bahwa hal tersebut adalah pertanda akan tumbangnya Soeharto, akar pohon terbalik, digambarkan sebagai terbaliknya kekuasaan Golkar yang masa itu dikuasai Soeharto.
Tak lama kemudian, entah siapa dan dari mana yang memulai, orang-orang menggantungkan air berwarna-warni berbungkus plastik wadah es di depan rumah. Air berwarna-warni tersebut digantung di pohon yang sudah mati. Rupanya, fenomena itu menggambarkan banyaknya partai baru yang bermunculan.
Jumlah partai politik di masa order baru hanya 3, Golkar, PDI dan PPP. Â Saat reformasi bergulir, ratusan partai baru didirikan, dan 48 di antaranya lolos pengesahan hukum sebagai partai yang berhak ikut pemilu 1999.
Entah hanya kebetulan atau memang ada pesan-pesan mistis di setiap momen viralnya sebuah peristiwa sosial di negeri ini. Namun, inilah Indonesia.
Kali ini pun, sosok Baliah, pengemis di kawasan Gunung Salak, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, yang viral  dengan kata-kata memelas bernada cengkok dangdut remix, he..he  "A... kasihan A.." adalah sebuah sindiran halus  menjelang Pemilu 2024.
Bertebarannya banner caleg di jalanan, blusukannya mereka ke masyarakat, adalah sebuah "musik" politik, di mana caleg mengemis suara dan  rasa simpati masyarakat, meskipun akhirnya setelah terpilih, mereka akan menghilang di telan bumi.
Bedanya, kemasan caleg dalam mengemis tidaklah seperti Baliah yang sangat vulgar meminta dikasihani, karena latar belakang  SDM tentunya berbeda antara Baliah dan para caleg.
Para caleg berlomba-lomba meraih simpati masyarakat dengan slogan "demi rakyat", "untuk negeri tercinta", "kesejahteraan wong cilik", dan kata-kata manis lainnya. Tak sedikit oknum caleg yang menggunakan jurus politik transaksional dengan membagikan sembako, bantuan sarana sosial, bahkan ada yang berani hitung-hitungan 1 suara dihargai puluhan hingga ratusan ribu rupiah.
Ada juga caleg yang menggunakan media sosial sebagai alat bargaining position mereka. Semua yang mereka lakukan sah-sah saja sih. Hanya saja, terkadang kita dibuat tersenyum dengan pola-pola gerakan mereka, yang datang di saat butuhnya saja.