Pada Rabu kemarin (19/5/2010) saya diamanahi untuk menjadi moderator diskusi buku Api Sejarah (jilid 1 dan 2) karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Publishing.
Buku bestseller yang dianugerahi sebagai karya nonfiksi terbaik versi IKAPI DKI Jakarta 2010 ini dibahas dua pakar sejarah, yaitu Dr.Sulasman, M.Hum dan Dr.Mumuh Muchsin Zakaria.
Ahmad Mansur Suryanegara selaku penulis buku Api Sejarah pun hadir tepat pada waktunya Lebih dari 100 peserta, baik itu mahasiswa maupun dosen serta umum memadati kursi Aula Al-Jamiah UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Diskusi buku yang digelar Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati bekejasama dengan Salamadani Publishing Grafindo Media Pratama, ini sangat dialogis.
Sebelum diskusi, Setia Gumilar, S.Ag., M.Si, selaku ketua panitia dan ketua jurusan SPI menyampaikan sambutannya. Dilanjutkan sambutan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung Prof.Dr.Agus Salim Mansur yang tampak antusias dan berapi-api dalam mengomentari buku Api Sejarah.
Pada diskusi itu, Dr.Sulasman yang saat itu menjadi pembicara pertama mengulas secara apik dan rinci dari sisi metodologi sejarah dan historiografi.
Menurut Sulasman, Api Sejarah memiliki corak yang khas sehingga berbeda dengan karya ilmiah sejarawan lainnya. Selain menyajikan sejarah Islam di Indonesia yang lengkap dari pra kemerdekaan hingga masa sekarang, juga menampilkan sejarah yang humanis versi Islam.
Penulisan sejarah yang digunakan Pak Mansur, menurut Sulasman, menggabungkan struktur-struktur sejarah seperti tokoh, gagasan, dan peristiwa.
“Dalam menulisnya pun Pak Mansur menggunakan metode berpikir terbalik. Ia menuliskan kesimpulan dahulu kemudian menyajikan data-datanya. Biasanya kan data dan fakta kemudian muncul kesimpulan. Tidak heran jika karya ini bersifat ideologis dan subjektf,” kata Dr.Sulasman.
Doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia Jakarta ini memuji buku Api Sejarah sebagai karya yang berbeda dengan karya ilmiah.
“Bahasanya enak dibaca, penyajian materinya lengkap, dan interpretasinya lain dari yang biasa. Mungkin bisa dikatakan meta history karena Pak Mansur mampu melihat yang tak terlihat kasatmata,” ujar dosen sejarah UIN Bandung ini.