Oleh AHMAD SAHIDIN
Hasil dari beberapa buku yang dibaca untuk kebutuhan penulisan, saya sampai pada anggapan bahwa Islam kini tinggal sejarah. Islam yang dalam konteks ajaran murni telah berhenti periodenya saat wafat Nabi Muhammad saw. Sedangkan Islam yang berkembang sejak wafat Nabi saw sampai sekarang adalah Islam sebagai pemahaman kaum Muslim terhadap ajaran-ajaran yang dirujuk dari sumbernya: Allah dan Muhammad saw. Karena itu, saya sepakat dengan Abdul Karim Soroush bahwa Islam yang berkembang dan dipeluk umat Islam sekarang ini adalah Islam identitas.
Ayatullah Murtadha Muthahhari pun pernah mengatakan bahwa Islam bagaikan air yang mengalir dari mata air yang jernih. Ia mengalir dari dataran tinggi turun ke dataran rendah. Saat mengalir tidak dapat disangkal kalau air terkontaminasi dengan berbagai kotoran yang terdapat pada setiap aliran sungai. Karena itu, untuk menjernihkannya perlu proses penyulingan. Maksudnya, jika kita ingin mereguk atau mendapatkan keaslian Islam harus steril dari kontaminasi dan virus berbahaya sejak wafat Rasulullah saw sampai sekarang.
Karena itu, umat Islam harus menggali melalui kajian intensif yang bersumberkan pada al-Quran dan sunnah shahih serta kajian kritik historis. Hal itu perlu dilakukan karena Rasulullah saw bersabda,“Sesungguhnya, banyak dusta dan kebohongan dinisbatkan kepada diriku.” (Syaikh Kulaini, Ushul Kafi, jilid 1, h.62.)
Imam Ali bin Abi Thalib juga mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya ada suatu kabar (hadits) yang datang kepadamu maka bandingkanlah dengan kitab Allah (al-Quran). Jika itu sesuai dengan kitab Allah maka ambillah dan jika bertentangan dengannya, buanglah.”
Namun, standar kebenaran dalam menentukan otentik dan tidaknya seringkali diabaikan umat Islam. Buktinya, kita masih menemukan beberapa kelompok Islam yang menghardik dan menganggap dirinya paling ittiba dalam sunnah Nabi Muhammad saw. Sedangkan yang di luar kelompoknya dilabeli ghair-sunnah, gahir-ittiba, ahlul bid`ah, dan zindiq. Inilah yang mungkin bisa dikatakan masalah yang perlu diperhatikan dan dicari jalan keluarnya oleh kaum Muslim.
Permasalahan lainnya, ternyata Islam versi Sunni tidak memiliki landasan yang jelas dalam soal kepemimpinan Islam. Pascawafat Nabi saw, Abu Bakar dibaiat dengan tanpa persetujuan keluarga Nabi dan tidak semua kaum Muslim menyetujuinya. Bahkan, Umar bin Khaththab sendiri yang mengawali pembaiatan Abu Bakar menyebutnya tergesa-gesa (faltah). Karena itu, kepemimpinan yang didasarkan pada ketegesa-gesaan bukanlah hal yang baik.
Lalu, Umar bin Khaththab menjadi pemimpin Islam didasarkan pada wasiat Abu Bakar. Kalau dicermati dari proses pemilihan khalifah di Saqifah Bani Saidah, tampaknya ada semacam perjanjian antara Abu Bakar dan Umar. Ketika perdebatan muncul di Saqifah, Umar mengajukan sekaligus membaiat Abu Bakar. Kemudian menjelang wafat Abu Bakar, ia menunjuk Umar menjadi penggantinya yang surat wasiatnya ditulis oleh Utsman bin Affan. Kemudian ketika Umar akan wafat membentuk dewan formatur yang diketuai Abdurrahman bin Auf dan memilih Utsman bin Affan sebagai pemimpin setelah Umar. Setelah wafat Utsman karena dibunuh pemberontak, kaum Muslim Madinah memilih Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah Islam secara langsung di Masjid Nabawi.
Dari penentuan kepemimpinan tersebut ternyata sangat berbeda satu dengan lainnya. Meskipun begitu, ada sebagian cendekiawan yang mengatakan bahwa pemilihan pemimpin Islam didasarkan pada syura. Namun, hal itu dipertanyakan keabsahannya oleh Thaha Husein, mantan Menteri Pendidikan Mesir.
Menurut Husein, jika kaum Muslim memang benar mempunyai sistem tertulis tentang syura pasti kaum Muslim yang hidup pada masa Utsman bin Affan akan menggunakannya. Setidaknya untuk menyimpulkan sebuah keputusan agar tidak terjadi berbagai pertentangan. Ketika diselidiki ternyata tidak ada kejelasan sistem, tidak ada ketentuan siapa yang berhak dipilih dan siapa yang menjadi pemilih. Bahkan, tidak ada aturan, batas-batas yang mengatur peserta, dan kriteria untuk mendahulukan satu pendapat di atas pendapat lainnya.
Bahkan, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang menjadi penguasa umat Islam malah menjadi kerajaan. Pascaabad pertengahan atau awal modern pun kaum Muslim yidak memiliki sistem politik Islam. Kita tahu bahwa beberapa kawasan Islam yang asalnya dikuasai kerajaan-kerajaan seperti Utsmaniyah, Safawiyah, atau Mogul; beralih menjadi negara-negara kecil yang menganut sistem politik Barat. Turki yang asalnya dikuasai Dinasti Utsmaniyah menjadi negera sekuler. Iran sejak pemerintahan Reza Pahlevi berakhir berganti menjadi pemerintahan yang didasarkan pada sistem wilayah faqih (otoritas kaum agamawan). Bahkan, Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak berdasarkan pada sistem politik Islam karena memang tidak ada kejelasan secara nash tentang bentuk pemerintahan Islam.
Apalagi kalau bicara mazhab, telah terjadi perpecahan hingga beratus-ratus aliran sejak masa sahabat hingga sekarang ini. Baik itu aliran aqidah (kalam), filsafat, fiqih, atau pun tarekat (sufi) beraneka macam bentuk. Bahkan, partai politik yang mengaku berazas Islam banyak bermunculan, baik di Indonesia maupun negeri-negeri yang dihuni kaum Muslim.
Begitu juga organisasi keagamaan (ormas) di Indonesia telah bermunculan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, Persatuan Umat Islam, Ikatan Jamaah Ahlu Bait Indonesia, dan lainnya. Di antara ormas-ormas terlihat perbedaannya, bahkan dalam rujukan pelaksanaan ibadah pun berbeda dalam merujuknya. Meskipun NU, Muhammadiyah, dan Persis mengaku bermazhab Sunni atau Ahlu Sunnah wal Jamaah, tetapi berbeda dalam pemahaman akidah dan pelaksanaan syariah serta pandangan politik. Namun, dari ketiga ormas tersebut ada yang sama: mengaku Allah sebagai tuhan dan Muhammad saw sebagai Rasul Allah yang terakhir serta mengaku berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah.
Perkembangan Islam yang berimplikasi lahirnya perbedaan mazhab, aliran politik, pemahaman ibadah, dan organisasi keagamaan merupakan fakta yang tidak dapat diingkari bahwa Islam sudah tinggal sejarah.
Apabila melihat riwayat atau hadits memang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah saw tentang terjadinya dinamika Islam pascaRasulullah saw. Diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw bermimpi melihat sekelompok kera yang bergelantungan di mimbar masjid dan dihadapan mimbar tersebut ada beberapa Muslim yang mundur berangsur-angsur. Tentang ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Hasan bin Ali bahwa Muhammad saw bermimpi melihat keluarga Umayyah menduduki dan menguasai mimbarnya setelah beliau wafat. Beliau merasa tidak senang dengan mimpi tersebut kemudian Allah menurunkan surah Al-Kautsar [108] ayat 1 dan Al-Qadar [97] ayat 1-5.
Sejarah mencatat bahwa kondisi yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad saw memang terjadi. Setelah Nabi Muhammad saw, lahirlah para penguasa yang menindas dan tidak melayani umat. Mereka naik ke mimbar dan berbicara tentang Islam dengan indah dan begitu memikat, tetapi diiringi kepentingan pribadi dan melegitimasi kekuasaan serta tudak segan-segan menindas kaum Muslim.
Dengan kata lain, pada masa itu Islam hanya tinggal nama. Bahkan, firqah (kelompok) satu dengan yang lain saling mencaci dan saling menyalahkan. Mereka pun saling mengaku paling benar dan yang di luar mereka tidak benar. Mereka mengaku beriman kepada Allah dan Rasululah saw, tetapi dalam perilaku dan urusan keseharian tidak merujuk pada Kitab Allah dan Sunnah Nabawiyah. Yang mereka pegang dan jalankan dalam keseharian, baik ibadah maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, adalah tafsir atau pemahaman Islam menurut para ulama dan guru ngaji, bukan Islam yang berasal dari sumbernya.
AHMAD SAHIDIN, alumni Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H