Oleh AHMAD SAHIDIN
SELASA, 10 November 2009 pagi kemarin, kursi di Aula Redaksi Pikiran Rakyat yang hanya cukup untuk delapan puluh orang tidak cukup sehingga sebagian terpaksa harus berdiri. Bahkan, panitia pun tidak kebagian tempat duduk. Hal itu terjadi saat digelarnya diskusi buku “Api Sejarah” karya Ahmad Mansur Suryanegara.
Tampak hadir beberapa aktivis Islam dan sebagian tokoh yang mewakili ormas Islam serta guru sejarah dan masyarakat. Ulama ternama yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Quran Babussalam (Dago Atas Bandung) KH.Muchtar Adam pun menyempatkan hadir sebagai peserta.
Awalnya panitia menetapkan pembahas buku “Api Sejarah” itu tiga orang: Ahmad Mansur Suryanegara (penulis), H.Syafik Umar (pimpinan umum dan pengamat media), dan Tjetje Hidayat Padmadinata (sesepuh Jabar dan politisi senior). Namun, dua hari menjelang hari “H”, panitia mendapat informasi bahwa H.Syafik Umar tidak bisa hadir karena ada keperluan yang tidak bisa digantikan. Sedangkan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dan Tjetje Hidayat Padmadinata menyatakan bersedia sejak awal. Dengan hanya dua pembicara, tampaknya waktu untuk mengekplorasi buku lebih leluasa dan mendalam.
Namun, pada Selasa itu, penulis Ahmad Mansur Suryanegara langsung mendaulat KH.Habib Syarief Muhammad Al-Aydrus dari Yayasan Assalam Bandung yang hadir dan sudah membaca buku Api Sejarah untuk menjadi pembicara. Tasaro GK, sang moderator dan panitia pun tidak keberatan atas pendaulatan tersebut.
Tasaro GK dengan gayanya yang khas memandu ketiga pembicara yang dari segi usia dapat disebut sepuh. Ahmad Mansur Suryanegara yang menjadi pembicara pertama mengulas isi buku “Api Sejarah” yang ditulisnya dengan gamlang. Masalah peranan ulama dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sedikit nostalgia bersama para ulama yang sudah wafat pun dikemukakan. Bahkan, Ahmad Mansur Suryanegara juga membeberkan proses penulisan buku “Api Sejarah” yang tidak lepas dari wudhu.
Selanjutnya, giliran KH.Habib Syarief Muhammad Al-Aydrus membenarkan isi buku “Api Sejarah” dan memberikan apresiasi positif atas lahirnya buku kesatu tersebut. Kemudian Tjetje Hidayat yang tampil dengan bahasa yang lantang dan dibumbui humor Sunda sehingga peserta diskusi tidak merasa suntuk.
Sebelum tanya jawab dimulai, Ahmad Mansur melalui moderator meminta komentar dari KH.Muchtar Adam yang duduk sebelah kiri depan. Dalam komentarnya, KH.Muchtar Adam sempat menguraikan sedikit tentang sejarah versi Quran, filsafat sejarah, dan perjuangannya dalam membimbing warga eks PKI di kawasan Ciburial Bandung.
Dari tiga penanya, salah seorang memberikan gugatannya terhadap istilah ulama yang disebut-sebut oleh penulis. Dua penanya lainnya memberikan apresiasi positif dan menanyakan perihal filosofi pilihan judul buku.
Seperti biasa, Ahmad Mansur Suryanegara menjawabnya dengan panjang dan meluas hingga ke soal poligami dan sepinya pesantren karena kiyainya berpoligami, filosofi batik, dan menginformasikan buku kedua “Api Sejarah” yang akan terbit pertengahan 2010.
Habib Syarief menjelaskan makna ulama dan persatuan umat Islam. “Sekarang ini orang sangat mudah memberi julukan ustadz. Hafal dua tiga hadits dan ayat, langsung disebut kiyai. Dulu, untuk dapat predikat kiyai itu ngajinya harus lebih dari sepuluh tahun dan teruji akhlaknya,” ujarnya.
Lain lagi dengan Tjetje, malah memberikan semacam motivasi dari sisi politik tentang saatnya umat Islam untuk meluruskan hal-hal yang dianggap tidak sesuai sehingga kontribusi ulama dalam sejarah muncul.