Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... lainnya -

www.albanduni.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengupas Isi Buku Api Sejarah

31 Desember 2009   03:12 Diperbarui: 4 April 2017   18:12 9662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TULISAN ini bermula dari sebuah diskusi tentang buku Api Sejarah (jilid 1) karya Ahmad Mansur Suryanegara yang terbit 2009 oleh Salamadani Publishing. Saya dan teman di milis altanwir@yahoogroups.com kemudian mendiskusikannya kembali. Dari diskusi itu kemudian melebar ke hal yang bersifat ideologis dan metodologi sejarah. Salah satu pembahasan yang menjadi perbincangan adalah mengenai komentar salah seorang alumni S2 (Sejarah) Universitas Indonesia, Depok, yang menyebutkan bahwa Api Sejarah merupakan historigrafi Islam Indonesia yang bisa disebut utuh. Bahkan, ia juga menyayangkan buku tersebut tidak muncul dari sejarawan lulusan UIN atau dosen sejarah di perguruan tinggi Islam, malah lahir dari dosen sejarah Universitas Padjajaran Bandung yang disebutnya sekuler. Bahkan, beliau juga memberikan sejumlah kritik terhadap pola pengajaran dan kurikulum jurusan sejarah di UIN yang dinilainya mengekor pada Barat. Menurutnya, jurusan sejarah (Sejarah Peradaban Islam atau SPI) UIN tidak memberikan pendidikan sejarah yang kritis terhadap sejarah Islam, khususnya periode akhir Khulafa Ar-Rasyidin. Hanya menampilkan sisi konflik ketimbang sisi kedamaian dan ukhuwah. Karena itu, menurutnya, sambil menyetujui/membenarkan buku Pak Mansur, bahwa sangat tidak mungkin terjadi konflik dalam Islam seperti Perang Jamal, Perang Nahrawan, Perang Siffin, dan lainnya karena yang menulis tentang semua itu sumbernya datang dari Barat dan Yahudi. Mereka tidak senang pada Islam sehingga sejarah Islam yang disebarkan harus membuat umat Islam rendah diri dan tidak bangga dengan kebesaran Islam. Dalam milis tersebut kemudian saya beri tanggapan seadanya. Maklum saya bukan ahli sejarah (meskipun kuliahnya di jurusan SPI UIN Bandung). Saya hanya mengomentari bahwa sebenarnya sudah ada beberapa karya yang ditulis para alumni dan dosen UIN. Namun, khusus seperti buku Pak Mansur yang lebih mengedepankan dakwah dan membanguskan citra Islam, tetapi kurang kritis dari segi peristiwa atau tema sejarah yg diambil, atau hanya mengandandalkan sekadar interpretasi subjektif tanpa didukung fakta dan data yang komplet, saya kira alumni dan dosen SPI tidak akan melakukannya. Meskipun kita semua Muslim, tetapi tetap saja dalam urusan ilmu pengetahuan dan keilmuan harus berpijak pada standar keilmuan. Apalagi sejarah, memiliki metodologi tersendiri. Jika sekadar pengayaan wacana, mungkin interpretasi Pak Mansur bisa masuk. Akan tetapi, jika berbicara sejarah, saya menyangsikan kebenarannya. Bagi saya, pernyataan dari kawan di milis itu sebuah bukti masih bercokolnya paradigma hitam putih atau pemisahan antara Islam dan bukan Islam. Jika kita mau melirik sebentar ke khazanah filsafat yang dikeluarkan para filsuf Muslim, misalnya Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Arabi, sangat tampak tentang kesatuan wilayah. Khususnya pandangan kosmologi Farabi bahwa semuanya berasal dari satu sumber: Tuhan. Dari yang satu itu kemudian memancar dan melahirkan keanekaragaman. Intinya, dalam wilayah keilmuan, unsur ideologis dan sebjektif perlu untuk sekadar dilepas sementara sebelum menemukan titik kebenaran. Urusan sejarah dan berkarya, saya kira jika mau didata akan tampak lebih banyak karya-karya yang dihasilkan teman-teman UIN/IAIN, ketimbang lainnya. Buku yang bernuansa ideologis dan sekadar bermuatan dakwah, bisa saja lahir dari orang yang bukan yang bergelut dari sejarah. Saya teringat pada hadits dan tafsir bahwa di dalamnya terdapat aturan yang jelas dengan metodologi yang khusus berkaitan dengan ilmu tersebut. Apalagi sejarah, saya kirakarya Rasul Ja`farian, Marshal GS Hodgson, Ira M.Lapidus, dan sejarawan ternama lainnya sudah sesuai dengan metodologi sejarah. Nah, di sini yang perlu dipertanyakan: sudah adakah dalam Islam atau kaum Muslim atau sejarawan Muslim memiliki metodologi sejarah dan historiografi khas Islam? Apakah penulisan sejarah dan metode yang digunakan Pak Mansur selama ini bisa disebut mewakili khas Islam? Bukankah beberapa nama sejarawan di Indonesia jika diihat dari KTP tertera beragama Islam. Adapun tentang "sangat tidak mungkin terjadi konflik dalam Islam seperti Perang Jamal, Perang Nahrawan, Perang Siffin, dan lainnya". Bagi saya kalimat tersebut secara ekstrem bisa dikatakan tidak mengakui keabsahan karya sejarah yang ditulis Ibnu Khaldun, Ibnu Jarir Ath-Thabary, Al-Mas`udi, Ibnu Hisyam, Muhammad bin Abdul Karim Ahmad Al-Syahrastani, Muhammad Husein Haikal, Rasul Ja`farian, Syed Mahmudunnasir, Ali bin Muhammad bin Atsir yg menulis kitab Al-Kamil fi Al-Tarikh, Maqatil bin Athiyah Al-Hanafi yang menulis kitab Al-Imamah wa Al-Khilafah,Ibnu Saâad Al-Waqidi yang menulis Ath-Thabaqat Al-Kubra, Abdul Fattah Abdul Maqshud yg menulis kitab As-Saqifah wa Al-Khilafah, Ahmad bin Abi Yaqub Al-Yaqubi yang menulis kitab Tarikh Yaqubi, atau para muhadits dan mufasir yang banyak meriwayatkan tentang kejadian yang berhubungan dengan sejarah masa Rasulullah saw dan perilaku sahabat pasca Rasulullah saw. Saya yakin bahwa hampir semua sejarah Islam dan Peradaban Islam yang sampai pada kita dan diajarkan di jurusan SPI berasal dari dari sana. Saya yakin mereka semua dalam menulisnya pun berdasarkan sumber yang valid, bukan diada-adakan atau dibuat-buat. Unsur keberpihakan politik atau teologi atau mazhab, pasti ada dan itu wajar. Sekali lagi: haruskah kita membuang semua karya para muarikh atau muhadits atau mufasir hanya sekedar untuk membenarkan pernyataan Pak Mansur yang termuat dalam buku Api Sejarah dan Menemukan Sejarah, khususnya masalah sejarah Islam perode khulafarasyidun dan setelahnya; yang katanya berasal dari atau diciptakan Barat untuk membuat Islam itu horor dan tidak membanggakan generasinya. Jika sekadar ingin menampilkan Islam yang jaya: buatlah sejarah Islam yang diambilnya hal-hal yang bagus dan membanggakan. Jika tidak ada sumbernya, karang atau ciptakan dari imajinasi sendiri. Nah, saya kira imajinasi adalah sumber yang tak pernah kering dan itu bukan karya sejarah namanya: novel atau pencerahan jika mengandung ilmu dan mencerahkan akal dan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun