Meskipun mendapatkan tantangan organisasi massa Nahdhatul Ulama (NU) dan organisasi kedaerahan, tetapi Persis berhasil mencetak kader dari kalangan generasi muda Islam, salah satunya KH. Shiddieq Amien.
Mungkin sudah menjadi sunatullah bahwa Persis kemudian hari, hingga sekarang banyak mengalami perubahan. Persoalan dakwah dan peranan Persis sejak masa kemerdekaan sampai kiprah para tokohnya tidak pernah diberi ruang yang cukup dalam buku sejarah. Karena itu, peran dan kiprah Persis kadang tidak diketahui oleh generasi muda Muslim sekarang. Tidak hanya itu, peran ormas-ormas Islam lainnya pun kadang tidak diketahui; yang dikenal malah organisasi nasionalis berbau sekuler dan kebatinan, seperti Boedi Oetomo, Taman Siswa dan gerakan Selasa Kliwon, PNI, PKI, dan lainnya.
Melalui buku Api Sejarah, sejarawan yang juga dosen senior di program studi Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara menyajikan fakta sejarah perjuangan ulama, santri, dan umat Islam dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilengkapi dengan foto tokoh-tokoh Islam terdahulu, beberapa institusi Islam yang berperan dalam sejarah Indonesia, dan lambang-lambangnya.
Selain itu, penulis juga membongkar fakta kezaliman kaum nasionalis dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penghilangan jejak peran ulama dan organisasi Islam dalam menegakkan NKRI, dan membongkar perselingkuhan kaum priyayi dengan penjajah Belanda, serta menggugat hari kebangkitan nasional dan beberapa organisasi pergerakan Indonesia yang tidak berjuang untuk Indonesia, tetapi untuk penjajah. Ada juga fakta penghinaan terhadap Rasulullah saw yang dilakukan Partai Indonesia Raja (Parindra) pimpinan Dr.Soetomo dengan menurunkan artikel di Madjalah Bangoen, 15 Oktober 1937.
Bahkan, penulis menjelaskan mealui tafsirnya bahwa sang Saka Merah Putih (bendera Indonesia) sebagai bendera Rasulullah saw. Lebih banyak lagi persoalan yang dibongkar dan pastinya buku Api Sejarah ini mengusik kesadaran kita yang sudah tertanam di benak sejak sekolah dasar. Mungkin agak terlambat, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Karena itu, tampaknya buku ini wajib dibaca sehingga tercerahkan dan tidak dibodohi penguasa.
AHMAD SAHIDIN, pekerja buku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H