Mohon tunggu...
Abah Amin
Abah Amin Mohon Tunggu... Pengelola Media Online, Penulis, Pengurus Komunitas Berbasis Pemberdayaan Masyarakat -

Hobi menulis, blogger (seputar wisata Bandung, wisata Jabar, dan blog pendidikan), aktivis komunitas pemberdayaan masyarakat di Bandung, dan pengelola akun media sosial promosi wisata Bandung. Menjadikan kegiatan menulis sebagai media katarsis. Berpikir, berkarya, dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya, Generasi '80-an

2 November 2015   16:16 Diperbarui: 2 November 2015   16:17 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini tercetus atas berita wafatnya Pak Raden. Sosok yang pernah mengisi kehidupan saya di masa kecil, masa tahun '80-an. Ketika itu yang namanya hiburan amat langka, apalagi di televisi. Maklum saja, siaran televisi hanya ada TVRI. Dan si Unyil salah satunya menjadi program yang sangat ditunggu. Dengan opening yang sangat sederhana namun membekas dalam ingatan hingga kini. Bahkan musik si Unyil pun waktu itu mudah saya pelajari dengan piano mainan saya. Cukup menekan 3 tuts piano, maka saya sudah bisa memainkan musik si Unyil. Tokoh-tokoh Si Unyil, Ucrit, Usro, Bu Bariah, Ableh, Pak Raden, Bu Guru, dan yang lainnya sangat membekas dalam ingatan saya. Tentunya pula nilai-nilai yang terdapat dalam setiap kisah episode si Unyil secara tak langsung jadi tuntunan.

Si Unyil Bagian Masa Kecil Saya

Saya, generasi '80-an yang masih polos dengan apa yang ada. Jika kini banyak yang menulis bahwa kisah Si Unyil tak lain hanya bentuk propaganda pemerintahan Orba, saya tak peduli. Toh, saya pernah menikmati masa itu dan waktu memang tak bisa diputar kembali. Bagi saya, Si Unyil adalah proses karya dari beberapa orang yang peduli akan dunia anak. Tak terkecuali sang kreator, Pak Raden. Kemarin-kemarin, ketika melihat berita akan kondisi Pak Raden, saya menjadi miris. Tokoh berkumis tebal dalam Si Unyil tersebut ternyata kehidupannya jauh dari ideal. Sang seniman sejati itu hidup dalam kesederhanaan sesederhana-sederhananya. Namun, bagi seorang seniman sejati, nilai didaktik dari karyanya mungkin lebih penting dan tak dapat diukur dengan apapun. Namun, tugas pekerja kreatif adalah berkarya dan semestinya pihak lain yang berkewajiban menghargainya. Salah satunya mungkin dari pihak pemerintah. Seniman adalah penyeimbang bagi kehidupan ini. Ia memberikan nilai-nilai hidup pada karyanya dan sudah sepatutnya diberi penghargaan.

Mainan Kreatif

Ah, itu hanyalah curahan saja. Kembali ke tahun '80-an. Masa dimana saya masih kanak-kanak, ketika media hiburan tak sebebas sekarang. Dulu siaran TV saja dijadwal. Paling banyak anak-anak seusia saya main dengan teman-teman. Dan permainan pun lebih pada "ngulik", misalnya membuat mobil-mobilan dari sendal jepit bekas plus kaleng susu bekas. Kalaupun pengen yang lebih nehnlogi, cukup sewa game watch 50 perak. Selebihnya, kebanyakan alat permainan seadanya. Jika ingin membaca, cukup saling tukar majalah anak, salah satu yang legendaris adalah Majalah Bobo.

Sahabat Pena dan Belajar Menulis

Pada era tersebut, secara tak sadar saya telah belajar menulis. Adalah "Sahabat Pena" yang menjadikan saya mau tak mau dituntut belajar menulis. Maklum saja, di sekolah suka bosan kalau disuruh mengarang. Isi karangan tak jauh dari judul "Berlibur ke Rumah Nenek", sementara saya tak pernah tahu rupa nenek. Maka, pelarian menulis pun saya alihkan ke surat. Untuk mencari calon sahabat pena yang akan dikirimi surat, cukup mencari di majalah anak atau bagian belakang Lembar Kerja Siswa (LKS). Nah, proses kreatif menulis pun dimulai. Ya, walau pada ujung tulisan surat, embel-embel "empat kali empat sama dengan enam belas" tetap menjadi jurus para penulis pemula waktu iti. Selembar surat saya kirim ke kantor pos. Dan, betapa gembiranya jika surat itu dibalas. Maka, teman pun dari bulan ke bulan tambah banyak. Semakin dibalas, semakin giat untuk menulis dan mencari sahabat baru.

Nostalgia Lagu Anak-Anak

Masa '80-an adalah masa dimana kami mengenal lagu anak-anak. Setiap Minggu pagi, acara anak-anak tak luput kami tonton. Untungnya, acara ini pun berlanjut hingga tahun '90-an. Kami masih ingat suara Cicha Koeswoyo, Adi Bing Slamet, hingga generasi Melisa, Enno Lerian, Trio Kwek-Kwek, dan yang lainnya. Inilah yang saya rindukan di masa sekarang. Kenapa anak-anak generasi sekarang harus merasakan kesunyian akan kegembiraan dari lagu-lagu anak? Acara di televisi pun sepertinya lebih mementingkan rating dibanding pembentukan karakter anak dari lagu yang dia tonton/dengarkan. Apa rugi besar gitu kalau harus menyajikan program khusus anak-anak? Atau memang lebih realistis mengimpor film anak-anak dari luar dibanding mencetak artis cilik produk dalam negeri?

Ini hanyalah secuil kisah masa lalu yang setidaknya diharapkan menjadi cermin di masa sekarang. Ini bukan membandingkan kondisi antargenerasi. Toh, setiap masa punya ciri dan masalahnya sendiri-sendiri. Namun, kembali pada hakikat bahwa bangsa yang baik itu dipersiapkan dan dibentuk dari masa anak-anak. Apalagi anak-anak punya hak untuk bergembira, bukan sekadar dijejali tontonan masalah dan masalah atau tontonan yang belum selayaknya dia konsumsi. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama.

Nah, bagi Anda yang merasakana era '80-an mungkin bisa berbagi pengalaman di sini untuk mengulang memori dan mengambil nilai-nilainya untuk masa sekarang. Salam '80-an!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun