Medio Desember 2014, saya berkesempatan menjadi visiting scholar di sebuah universitas di Cina Tengah, tepatnya di kota Wuhan. Sebuah kesempatan baik untuk menimba ilmu sekilas tentang pendidikan tinggi di Cina. Kebetulan tempat yang dituju adalah sebuah universitas riset. Kenapa disebut demikian? karena universitas tersebut memfokuskan pada riset daripada keada teaching. Jumlah mahasiswa pascasarjana lebih banyak daripada jumlah mahasiswa level sarjana, apalagi diploma.
Untuk masuk menjadi mahasiswa pascasarjana level S2 (Master), mereka harus mengikuti seleksi massal, seperti ujian masuk PTN jenjang S1 di Indonesia. Pada saat ujian berlangsung, hotel-hotel penuh di booking oleh para pendaftar jenjang Master. Ujian dilaksanakan dengan serius, bahkan beberapa jurusan mengadakan ujian tulis dan ujian lisan, serta juga ujian praktek. Mahasiswa pascasarjana yang masih muda-muda tampak mendominasi. Lebih banyak daripada mahasiswa senior. Sedangkan untuk masuk ke jenjang doktoral, seleksinya lebih ketat lagi, dan peminatnya tuidan semembludak di S2.
Para dosen memiliki otoritas yang kuat dan lebih besar daripada pihak administrator. Dengan kekuasaannya, mereka bisa memberikan tawaran kekhususan pada mahasiswa S2 yang cemerlang untuk langsung ke jenjang S3, jika mereka menginginkannya. Salahseorang dosen senior menyatakan bahwa masifikasi pendidikan di Cina telah mendorong para dosen di Cina berusia 40 an, sedangkan di Amerika Serikat rata-rata berusia 50 an. Di Indonesia ? nampaknya masih belum bisa menandingi di Cina.
Paradigma pendidikan yang semakin berkembang di Cina membawa liberalisasi pendidikan. Para dosen di universitas ternama seringkali mengadakan visiting scholars dan aktifitas lainnya ke negara-negara maju, terutama ke Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan lainnya. Seorang teman mahasiswa S2 di jurusan Higher Education menyatakan bahwa kalau mau jadi dosen di universitas yang bagus, maka harus lulusan luar negeri atau sering melakukan penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya di universitas di luar negeri. Contohnya adalah Prof. Lei Hongde yang saya temui, seorang luluisan Beijing University yang pernah menjadi visiting scholar di universitas ternama di Amerika Serikat. Dengan demikian maka walaupun sistemnya masih sosialis komunis, namun dunia akademik sudah sedemikian maju secara ilmiah.
Mahasiswa Pascasarjana berusia senior jarang ditemui di Cina. Berbeda dengan di negara kita, dimana kuliah pasca sebaga ajang untuk eksistensi diri bagi orang-orang yang sudah mapan secara pekerjaan maupun sosial. Maka tak heran banyak "ilmu" yang menganggur, karena para penyandangnya lebih sibuk di urusan lain selain bidang kajian ilmunya. Mudah-mudahan bermanfaat untuk memperkaya horison berfikir mereka. Bukan gelar sekedar gelar. Saat ini di masyarakat masih banyak orang yang "menakut-nakuti" orang awam dengan gelar bodong, yang tidak didapat dari bangku perkuliahan. Maka pantas saja kalau warga Australia dalam menuliskan gelar, mereka juga menuliskan asal universitas dimana gelar tersebut diperoleh.
Tren Pascasarjana di Indonesia sudah mulai dikembangkan lebih baik dan lebih baik lagi dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 04 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Semoga para dosen pasca, para profesor memandang jauh kedepan untuk mengejar ketertinggalan bangasa kita di dunia akademik.. jiayooo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H