Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pertanyaan Tentang Pendidikan yang Salah

10 Agustus 2014   20:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:54 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini harus kerja, menjadi instruktur pelatihan guru di kampus. Masuk jam 7.30 pagi, maka berangkat dari rumah harus lebih pagi dari jam tersebut. Sesudah siap, maka harus berangkat lebih pagi lagi. Sambil berjalan menyambar suratkabar kompas edisi Jum'at yang belum sempat terbaca. Ada artikel menarik yang kemudian dishare bersama-dengan kawan-kawan guru peserta pelatihan. Menurut artikel di Kompas Klas yang membahas Think Like A Freak-nya Levitt dan Dubner seseorang harus memiiki kemampuan dan teknik analisis agar bisa memecahkan masalah. Kadang dengan cara berpikir yang nyeleneh untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah.

Hal menarik bagi kalangan pendidik adalah mengenai reformasi pendidikan di AS (Amerika Serikat) yang berorientasi kepada perbaikan sistem sekolah karena pertanyaan yang diajukan adalah berkisar kepada apa yang salah dengan sekolah kita?. Menurut buku itu yang disitir pada artikel Herry Manampiring tersebut... Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kinerja murid sekolah di AS justru lebih dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, kebiasaan mengerjakan pekerjaan rumah, dan apakah orangtua memberi rangsangan untuk mau sekolah. Dengan kata lain, pemerintah terlalu sibuk mengutak atik sistem sekolah, padahal masalah ada di orangtuanya.

Menurut Levitt dan Dubner, pertanyaan yang lebih baik adalah, "apa yang menyebabkan anak-anak di AS tahu lebih sedikit daripada anak-anak di negara lain?"  Dengan pertanyaan yang lebih baik, maka alternatif penjelasan dan solusinya lebih terbuka.

Saat ini masalah kurikulum di Indonesia banyak dipertanyakan oleh khalayak ramai. Bahkan dikatakan pakar diperlukan waktu tiga tahun untuk menjadikan K-13 ini benar-benar aplikatif di masyarakat. Pelaksanaan K-13 tentu tidak terlepas dari pertanyaan yang dikembangkan oleh pemerintah, terutama dalam penerapan kurikulum model KTSP. Karena KTSP ada kekurangan (katanya) maka disempurnakan dengan K-13 dengan memasukkan muatan nilai/moral dalam setiap pembelajaran.

Bisa jadi, apa yang dinyatakan di AS juga sama dengan di Indonesia. Kita tidak pernah tahu korelasi sekolah dengan orangtua dalam bentuk pembuktian via penelitian ilmiah. Makanya jadi timbul pertanyaan bagi saya, kalaupun K-13 diberlakukan, sekolah-sekolah berkarakter, tetapi kalau pola asuh orangtua dan kondisi sosial kemasyarakatan tidak berkarakter, maka hasil K-13 bisajadi tidak sukses. Keteladanan juga menjadi penting, maka keteladanan guru menjadi hal yang paling penting untuk menuju K-13 yang ideal. Sampai saat ini apakah ada upaya-upaya agar guru menjadi ideal, teladan, atau model bagi siswa-siswanya. Apakah para pejabat pendidikan sudah menjadi teladan bagi para guru?

Saat ini kita sering sekali menghubungkan kualitas pendidikan dengan anggaran pendidikan Faktanya ternyata biaya pendidikan tidak berkorelasi dengan mutu pendidikan. Ada dana BOS tetapi yang paling banyak terjadi adalah masalah penyimpangan. Mungkin diatas kertas bisa diterima laporan tanpa ada kebocoran. Tetapi dalam praktiknya konon masih banyak kepala sekolah atau bendahara BOS yang memiliki kuitansi kosong bermacam lembaga. Untuk jaga-jaga, katanya.

Pendidikan kita, Indonesia memiliki sistem yang diwariskan dari Belanda. Kemudian sistem tersebut dikembangkan terus mnerus sampai sekarang oleh pemerintah. Sekarang sudah on the right track, katanya. Tetapi jika hanya berkutat dengan karakter itu penting, tanpa memandang tantangan lebih jauh bagi kemajuan bangsa yang sangat kompetitif, maka pertanyaan tentang masalah pendidikan di Indonesia perlu dikaji ulang lagi.

Summerhil dari AS Neill di Inggris adalah salahsatu contoh bagaimana sekolah idealis dari pakar, yang ternyata memiliki berbagai kekurangan. Indonesia memiliki lebih banyak sekolah swasta daripada sekolah negeri. Kemampuan sekolah swasta beragam, ada yang dibawah sekolah negeri dan ada pula yang diatasnya. Oleh karena itu apa yang dimaui oleh pemerintah, belum tentu menjadi pilihan terbaik bagi siswa dengan beragam pengelola sekolah. Indonesia juga memiliki beberapa sekolah idealis seperti INS Kayutanam, dan KMI Pondok Modern Gontor. Keberagaman itu diakomodasi oleh pemerintah, bahkan juga sekolah di rumah. Maka pendidikan bisa dilihat sebagai keberagaman dimana pemerintah tidak boleh lagi memaksakan penyeragaman. Karena praktiknya banyak sekolah swasta yang siswanya lulus 100 % sedangkan sekolah negeri ada yang tidak lulus UN. Ini terjadi di berbagai daerah, bahkan di Jakarta. Pemaksaan penyeragaman membuat timbunya "permainan" dengan orang-orang "dinas"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun