Sumbangan Masjid Tolikara digagas oleh berbagai lembaga. Termasuk oleh Kampus Muhammadiyah melalui lembaga Lazismu-nya. Pemerintah sepertinya bergerak cepat dalam isu Tolikara ini, bahkan peletakkan batu pertama sudah dilakukan oleh pihak-pihak disana.Pemerintah terlihat serius mencermati masalah ini, mungkin dampak dari masalah "kesalahan loudspeakernya" Wapres JK. Mudah-mudahan sumbangan kaum muslimin untuk masjid ini difasilitasi oleh Pemerintah Papua dan Pemerintah Pusat agar sampai kepada yang berhak dengan aman dan damai, seperti suka damainya masyarakat asli Papua. Berita terus berkembang dan semua orang bersuara, semua orang mengawasi komentar-komentar, dan bermunculan komentar atas komentar dan seterusnya dan seterusnya. Jadi teringat tulisan Jean Baudrillard tentang Simulacra :))))) yang kini nyata ... hiperrealitas dan realitas semakin ngeblur...
Media online milik CT menyebutnya sebagai Musala. Penyebutan ini membuat gerah beberapa kawan. Seakan-akan media ini ingin mengerdilkan kejadian sebenarnya. Padahal jelas-jelas yang terkena si jago merah itu adalah Masjid. Musala itu kecil, masjid itu besar. Masjid itu bisa untuk jumatan dan Musala itu tidak bisa. Definisi ini mungkin sulit dipahami atau memang ingin mengecilkan masalah :(.
Ekspos Tolikara membuka berita tentang sepak terjang Gereja Injili di Indonesia yang berkolusi dengan pemerintah setempat. Itulah yang terjadi di daerah-daerah. Kadang-kadang sekelompok elit bisa menelikung aturan hanya untuk kepentingan kelompoknya, jauh dari nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan universal. Bahkan bendera dan simbol Israel ada dimana-mana di Tolikara, mungkin biasa untuk masyarakat sana, tetapi agak ganjil kelihatannya oleh masyarakat Indonesia secara umum yang melihat Israel sebagai penjajah, seperti juga pandangan dunia secara umum. Minus Amerika yang memang sekutu dekat Israel.
Mudah-mudahan bangsa Indonesia bisa terus menerus "aware"terhadap peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Lembaga PTUN bisa memberikan lahan untuk mendebat aturan yang salah. Ketika pemerintah dan legislatif setali tiga uang. Atau bisa juga ekspos media sosial yang kritis dan logis. Muhammadiyah meyebutnya "Jihad Konstitusi". Hal yang bisa juga dilakukan oleh orang kebanyakan untuk mempermasalahkan aturan yang anti demokrasi.
Ketika legislatif berselingkuh dengan eksekutif, maka masyarakat awam bisa berjuang menentangnya dengan ajukan judicial review. Bahkan mungkin juga mengadu ke change dot org yang didirikaan antara lain oleh Ben Rattray yang KTP-nya San Fransisco CA. USAÂ (pastinya bukan singkatan Urang Sunda Asli ;(. Seperti Buwas yang sampai hari ini di petisi 17500 orang di situs ini. Apakah mungkin mengadukan seorang aparat pemerintah dengan petisi berbasis diAmerika Serikat dapat dijadikan dasar hukum untuk tindakan legal tertentu oleh Jokowi? Saya juga tidak tahu jawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H