Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mudik setelah Sholat Ied via Bus Umum ke Bandung

6 Agustus 2014   19:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:16 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi mudik merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu oleh keluarga besar kami. Walaupun secara ekonomi kami adalah biasa-biasa saja, tetapi secara kuantitas lumayan banyak. Bapak mempunyai delapan orang anak, yang kemudian melahirkan cucu-cucu dan memiliki suami dan istri. Saat Lebaran tiba, semuanya berkumpul di rumah Bapak, atau rumah Aki bagi anak-anak kami. Karena harus berbagi kasih dengan mertua, maka para anak-anak setiap dua tahun sekali melaksanakan sholat Ied di kampung halaman. Bersama orangtua sendiri, yang pada tahun lainnya ber-sholat Ied di kampung halaman istri/suami masing-masing. Begitu tradisi bagi yang rumahnya berjauhan dengan orangtua.

Tahun ini, saya sekeluarga ingin merasakan suasana baru. Berlebaran di Jakarta. Ternyata berlebaran di Jakarta juga menarik. Karena disini ada juga warga yang tidak mudik. Tradisi Lebaran ala Jakarta adalah Lebaran yang mirip dengan di kota-kota besar lainnya. Campuran antara pribumi dan pendatang bersatu merayakan kemenangan di bulan Syawwal. Sayang, para jamaah kurang disiplin saat sholat Ied. Ketika khotib masih berkhutbah sebagian mereka malah meninggalkan lokasi. Tidak tahukah mereka bahwa sholat dan khutbah adalah satu kesatuan ??? Padahal diantara mereka adalah orang dewasa yang sudah akil balig, bahkan para kakek nenek.

Jakarta memang kota metropolitan dengan berbagai komunitas yang ada. Saat sholat ied bareng, banyak dari kita-kita yang bertampang dan berpakaian seperti ustadz, tetapi tidak menerapkannya pada kepribadian ala ustadz.

Jakarta sesudah Iedul Fitri sangat ramai dengan motoris. Angkutan umum juga panen penumpang. Rata-rata motor membawa dua orang atau lebih. Tradisi nyekar ke kuburan menjadi tujuan utama, selain juga silaturahim dengan para kerabat dan handai taulan. Sesudah sholat dzhuhur, kami sekeluarga mudik ke Bandung, menuju rumah mertua saya. Menggunakan bus umum P, dari pangkalannya di Cililitan. Tarif sudah dinaikan menjadi tujuhpuluh lima ribu rupiah untuk kelas eksekutif. Biasanya Rp. 60.000,-Terdapat kerumunan penumpang menuju Garut dan Tasikmalaya disana, mungkin karena bus dari sana yang terlambat datang ke shelter tersebut. Bagi yang memiliki uang lebih, bisa menggunakan jasa angkutan privat, yang tentunya lebih nyaman dan lebih mahal. Tetapi menggunakan bus antarkota untuk menuju Bandung di hari Iedul Fitri cukup worthed laah.

Suasana di jalan tol menuju Bandung ramai lancar. Terlihat antrian kendaraan pribadi menuju Jakarta mengular di pintu keluar tol. Mereka adalah para orang kaya Indonesia yang akan merayakan liburan lebaran di Jakarta. Tidak Mudik. Perjalanan cukup lancar, walaupun agak melambat dari biasanya. Jam empat sore sudah tiba di Bandung, perjalanan ditempuh tiga jam setengah.Apalagi pak sopir cukup lincah mengantisipasi kerumunan kemungkinan kemacetan, bahu jalan tol juga disikat yang penting cepat sampai. Kadang ada juga patroli polisi dan petugas, tetapi semuanya ada harganya.

Di rumah mertua semalam, kemudian besoknya menuju Cililin, kota yang banyak lilin (begitu celoteh si Cikal). Merayakan lebaran bersama keluarga besar.

Para pemuka agama meminta para warga perantauan untuk stay sebentar membangun masjid/mushola. Karena banyak dari warga kami di kampung adalah pekerja bangunan. Mudah-mudahan mereka juga berpuasa saat bekerja di Jakarta atau kota besar lainnya. Sehingga ketika diajak membangun masjid/mushola/madrasah di kampungnya, mereka tidak disibukkan oleh kegiatan pribadi mengganti puasa Ramadhan yang terpaksa dibatalkan karena kerasnya tuntutan pekerjaan. Bagi para kompasianers om tante opa oma mas mbak kakak akang teteh uda uni engkoh enci abang encang encing dan sebagainya, saya mohon maaf atas segala khilaf baik sengaja maupun tidak sengaja. Kalau perbedaan prinsip di Pilpres tetap beda sih oke, tapi saling memaafkan adalah harus dibukakan :) Demikian juga pagi para penikmat kompasiana secara umum. Selamat menikmati hidangan lebaran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun