Dua hari ini, jumat dan sabtu, saya mengikuti kegiatan di Solo, tepatnya di UNS, Universitas 11 Maret Surakarta. Acaranya adalah Seminar dan Rapat Kerja dari Asosiasi Profesi Pendidik Ekonomi Indonesia (selanjutnya Aspropendo). Sebenarnya pesertanya adalah Drs. Jamil, MM., M.Pd. namun karena berhalangan, maka beliau mewakilkan kepada seorang rekan, namun karena rekan tersebut juga berhalangan, maka saya memperoleh mandat dari ketua program studi untuk mengikuti acara tersebut. Aspropendo mungkin sudah sejak lama eksis, namun to be true…. Saya baru dengar saat kaprodi memberikan mandat untuk mengikuti acara tersebut. Setelah mencari di internet, saya memiliki gambaran bahwa Aspropendo adalah organisasi profesi dari pendidik ekonomi, yang anggotanya adalah lembaga dan individu yang bidang kerja profesionalnya di bidang pendidikan ekonomi, seperti dari program studi pendidikan ekonomi jenjang S1, S2, dan S3 serta berbagai pemangku kepentingan terkait.
Perjalanan menuju Solo bisa dicapai dengan berbagai moda transportasi. Tadinya saya mau mencoba menggunakan bis malam. Sudah lama tidak menggunakan jenis kendaraan tersebut, terakhir kali pada saat masih kuliah di Jogja pada pertengahan 2000 an. Setelah mencari informasi di internet, diperoleh gambaran tarif bis antara 180 – 150 ribuan rupiah untuk bis malam yang paling mewah, dengan bangku dua dua, full AC, dan toilet. Beberapa nomor telepon saya hubungi untuk mencari bis yang bisa membawa saya ke Solo, dan akhirnya pilihan pada bis Kxxxxxxxxi, atau Sxxxxxxa yang sepertinya cukup bonafid dengan mesin dan body bis yang aduhai.
Sayang, niat naik bis malam ke Solo tidak kesampaian, karena ada tugas di kampus Jakarta Selatan pada jam tiga sore pada hari kamis itu, yang tidak memungkinkan untuk berangkat ke Solo agak sorean. Bapak Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria bersilaturahim ke kampus, dan memberikan gambaran mengenai pendidikan di Bulgaria, yang memiliki spesialisasi di bidang ilmu murni, teknik, kesehatan dan kedokteran. Sebagai bagian dari Uni Eropa, Bulgaria bisa menjadi pilihan bagi pemburu beasiswa luar negeri, karena bisa mencicipi rasa Eropa dengan biaya hidup yang tidak terlalu mahal, kata pak Dubes yang pernah sekolah menengah di Muhammadiyah, luasnya kurang lebih sama dengan pulau Jawa. Mahasiswa beasiswa Erasmus Mundus yang kuliah di sini, katanya bisa nabung… lumayaan !
Akhirnya saya menggunakan low cost flight-nya Tony Fernandez. Itu juga hanya sampai Jogja, karena jurusan ke Solo sudah penuh. Berangkat dengan penerbangan paling pagi, dengan kemudahan check in di mesin khusus, dan belinya dengan kartu kredit. Lumayan mengurangi arus kasJ,. Penerbangan pagi lumayan on time, sehingga bisa istirahat. Perjalanan ke terminal 3 bandara menggunakan bis Damri Bandara dari Terminal Rambutan dengan tarif 35 ribu rupiah. Jam tiga pagi berangkat, dan perjalanan sekitar satu jam lebih sedikit sudah tiba di Cengkareng. Tadinya dari Jogja saya berniat menggunakan bis antar kota. Tetapi ketika baru turun di bandara, saya menemukan fakta bahwa bandara Jogja berdampingan dengan stasiun kereta api Maguwo. Kenapa saya tidak menggunakan kereta api saja? .menurut jadwal dilaksanakan pada jam 13.00 WIB, maka masih ada waktu luang. Akhirnya saya mencari infomasi dan memutuskan untuk membeli tiket Prambanan Ekspres jurusan Solo Balapan seharga enam ribu rupiah. Perjalanan memang slow dan harus berdiri (tiket tanpa tepat duduk), tetapi menyenangkan juga melihat pemandangan selama perjalanan dengan kereta api. Kereta api sudah direformasi Dahlan Iskan, sehingga saya tidak menemukan penjaja makanan yang dulu pada tahun 1990 an 2000 an memberi kesan kumuh dan juga kurang aman dan nyaman bagi pengguna jasa. Turun dari kereta, saya merasa lapar, setelah menembus para penjual jasa (becak, ojek, taksi gelap, taksi resmi) akhirnya saya menemukan penjual sate Solo H. Kasdi. Lokasi penjual makanan ini berada di seberang stasiun Solo Balapan. Beberapa tahun ini, saya menggemari kuliner tongseng, maka saya pesan disitu Tongseng yang pedas (walaupun faktanya tidak terlalu pedas). Tongseng nya lumayan empuk, namun rasanya manis-manis pedas, lebih garang pedasnya tongseng Solo yang ada di samping RS Harapan Bunda Jakarta Timur.
Menuju UNS, saya mencoba menggunakan BST, Batik Solo Trans, yang digagas Jokowi. Dengan halte lebih minimalis, pengemudi berhenti hanya pada halte mini tersebut. Karcisnya 3500 rupiah menuju Kentingan (Gendingan) Solo. Pengemudi bis serupa di kota Bandung lebih tidak tertib, karena bisa berhenti di bukan halte. Mudah-mudahan @ridwankamil bisa menertibkan pengemudi bis Trans di Bandung yang sering berperilaku tidak taat aturan itu.
Masih ada waktu, saya mencari masjid untuk sholat Jum’at. Ketemu di Fakultas Pertanian UNS. Ganti baju dan siap-siap jum’atan dengan perut kenyang menyebabkan konsentrasi terpecah…. Ngantuk menyerang. Menarik juga khatib disini, yang masih muda dan enerjik antara ngantuk dan mendengarkan saya menyimak pembacaan doa yang meminta perlindungan Allah dari Yahudi dan Israel. Mungkin khatib ini belum tahu beda Yahudi dan Bani Israel sehingga menyamakan kedua-duanya. Dia belum baca Gilad Atzmon-nya Buya Syafii Ma’arif. Lebih unik lagi, saat sholat Jum’at ia menambahkan dengan qunut di rakaat kedua sesudah ruku’ kedua. Teringat saat dahulu jaman Perang Bosnia aja, pernah berqunut terus menerus di setiap sholat wajib, ketika para penduduk muslim Bosnia dibantai karena beda suku dan beda agama. Khatib ini tidak akan mendapat mimbar di kampus saya :). Jadi khawatir pembinaan keagamaan di kampus-kampus negeri.
Acara dilaksanakan di Pusdiklat UNS. Sebelah kanan di samping pos satpam. Dengan membayar 750 ribu, saya menginap semalam di kamar untuk berdua, namun teman sekamar tak kunjung datang. TV kabelnya terbatas hanya MTV memutar lagu-lagu Taiwan, Fashion TV dan Australia+, namun cukup nyaman dan bersih. Mungkin saat ini sudah saatnya perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia memiliki semacam pusdiklat ataupun hotel yang dikelola mandiri untuk pemasukan kas maupun untuk sarana pembelajaran mahasiswanya.
Acara berbaur dengan kegiatan budaya, hal ini mungkin terkait dengan Solo sebagai pusat kebudayaan tradisional Jawa. Pada pembukaan acara, disampaikan tarian tradisional Jawa, dan pada malam hari setelah pelantikan pengurus Aspropendo, peserta diundang untuk menonton wayang orang Sriwedari --- gratis!!!. Hari pertama adalah hari untuk Aspropendo,s edangkan pada hari kedua adalah saatnya untuk seminar umum dan sesi seminar paralel.
Organisasi profesi ini sebenarnya memiliki peran yang signifikan di masa depan. Namun pergerakannya masih kurang professional. Buktinya pengurus pusat sudah ada, pengurus daerahnya baru eksis di Jateng, DIY, dan Jatim. Daerah dimana para pengurus pusat berada secara mayoritas. Itu juga dominan dikuasai oleh PTN yang memiliki jurusan Pendidikan Ekonomi. Wilayah Jakarta mana?Sampai saat ini yang aktif di organisasi ini hanya UNJ dan UHAMKA dari Jakarta, posisi-nya pun tidak signifikan sehingga belum punya bargaining untuk mendirikan pengurus tingkat provinsi.
Kepengurusan Aspropendo dipimpin oleh Dr. Sugiharsono, M.Pd. dari Universitas Negeri Yogyakarta dengan Dewan Pakar dari beberapa guru besar di bidang ini. Sebagai orang baru, saya just wait and see, ikut serta saja dengan mendaftarkan diri menjadi anggota. Kalau memang nanti sertifikasi guru, asosiasi profesi ini berperan penting, maka organisasi ini akan menjadi “kue” yang diperebutkan oleh para akademisi. Saat ini pendaftaran anggota masih terbuka, bahkan para mahasiswa S2 Pendidikan Ekonomi dari Unesa dan UNS juga boleh mendaftarkan diri. Saya dosen tetap di prodi Pendidikan Ekonomi, S2 di bidang Pendidikan IPS sedangkan S3 di bidang Ekonomi Pendidikan dan Manajemen. Ke depan, mungkin akan lebih selektif dan memiliki jenjang karir yang teratur. Pertanyaannya adalah, mampukah Aspropendo bekerja profesional dan menjadi lembaga independen untuk akreditasi dan sertifikasi? Sementara para pengurusnya adalah pegawai kemendikbud (sebagian besar) dan memiliki beragam kesibukan di lembaganya masing-masing??? Saya hanya melihat bahwa, kebanyakan dari peserta dan pengurus adalah diatas usia 40 an, dan kurang dapat meningkat elan vitalyang ingin dihembuskan dan dikembangkan oleh asosiasi ini, jika bukan hanya sebagai pengiring atau penyeimbang atau pendukung atau instrument dari kemauan-kemauan pemerintah yang berkembang dari para pemikir /intelektual di luar sana. Gagasan akreditasi independen menggaung disini, namun.. apakah para pengurus Aaspropendo tahu, bahwa ITB sudah melaksanakan akreditasi independen untuk beberapa prodinya, dan berhasil memperoleh akreditasi interenasional dari lembaga akreditasi internasional yang menandatangani Washington Accord dari Jerman, Korea Selatan, maupun Amerika Serikat? Mudah-mudahan kegelisahan ini hanya sekedar kegelisahan pribadi. Faktanya untuk saat ini profesionalisme dan keseriusan dibutuhkan untuk mengelola organisasi yang independensi dan mempunyai rule of law yang jelas. Bukan sekedar organisasi penambah kum atau mencari tambahan-tambahan diluar tugas resmi. Mungkin organisasi profesi yang lain juga tidak jauh berbeda (tanda seru dan tanda tanya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H