Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kyai Haji Hariri

15 Februari 2014   13:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kyai Haji (KH) Hariri adalah tulisan yang saya baca di sebuah spanduk acara maulidan yang dipasang di pinggiran jalanan di pinggiran kota Bandung di medio Januari 2014. Media telah menciptakan Hariri sebagai Dai (televisi). Dan masyarakat mengamini perilaku media televisi tersebut, disaat ketenaran menjadi faktor penting bagi kegiatan bermasyarakat, bernegara, berkomunitas, dan bahkan menjadi suatu cita-cita para individu tertentu. Mayoritas masyarakat kita senang dengan bungkus, dan melupakan esensi dari jalan dakwah. Dakwah tidak hanya dengan orasi. Rakyat tidak butuh mendengar. Mereka lebih butuh didengarkan. Ada berapa pendakwah yang mampu menyelami derita dan kenestapaan para jamaahnya???. Satu lagi adalah tentang keteladanan. Hariri minus dalam hal ini, walaupun begitu ia meminta maaf adalah tanda plus.

Kampung tempat Hariri lahir adalah daerah dengan tradisi keislaman tradisional yang kuat. Pola dakwah dengan ceramah di panggung masih menjadi model dakwah yang biasa...pun demikian di daerah-daerah Bandung dan sekitarnya. Mendatangi pengajian merupakan tolabul ilmi yang memperoleh pahala. Secara keturunan ia juga memiliki "kans" untuk menjadi mubaligh. Meskipun menurut IKADI, organisasi resmi para pendakwah di Indonesia, Hariri belum layak menjadi ustadz, seperti yang saya baca dari harian nasional berbasis Islam hari kemarin. Mungkin juga IKADI ini kurang menyelami fenomena keberislaman di pinggiran Bandung dan bergaul dengan para mubaligh kampung yang menjadi basis bagi "kelahiran" Hariri-hariri lainnya. Hariri adalah bakat lokal yang kemudian dipoles oleh televisi untuk menjadi pendakwah selebritas yang masih memiliki penggemar di tingkat kampung yang "kagum" dengan ketenaran ala televisi. Seperti sikap masyarakat awam yang setiap hari dihibur acara televisi nasional

Perilaku Kyai Haji Hariri memicu perdebatan di media, negatif dan positif. Kemudian dikompor-komporin oleh media televisi dan media lainnya. Yang saya lihat dari peristiwa itu, ternyata orang kampung di Kabupaten Bandung sudah begitu melek teknologi, sehingga perilaku aneh sang Hariri bisa dipelototi jutaan manusia di seluruh dunia, beberapa saat setelah kejadian berlangsung. Media bisa menjadi kontrol sosial bagi para elit, para tokoh, yang berperilaku "minculak" atau nyeleneh. Hariri adalah ustadz ciptaan televisi dan diamini oleh masyarakat. Kalau jaman dahulu gelar kyai itu berasal dari pengakuan masyarakat. Sekarang ini berbeda, siapa saja bisa disematkan gelar kyai oleh media televisi untuk kepentingan acara dan "rating". Akhirnya muncul-lah apa yang disebut teman saya di facebook sebagai "karbitan", "instan". Ini menjadi kebutuhan pada masyarakat yang haus komoditas yang dimaterialisasikan. Yang karbitan sebenarnya tidak hanya penceramah agama atau kyai, tetapi juga profesi lainnya. Muncul berkali-kali di televisi (walaupun hanya muncul di acara gosip), maka seseorang sudah di cap sebagai artis, dengan kadar keartisan karbitan. Aktingnya yaa ampun jelek sekali. Hanya mengandalkan wajah ganteng atau cantik saja.

Semoga generasi muda Indonesia tidak banyak yang memilih jalan karbitan. Karena bila menempuh jalan ini, gampang naik dan gampang turunnya. Bisa-bisa malah terjerumus ke dalam kenistaan. Tekuni jalan hidup yang pasti-pasti saja. be professional !.

Jakarta, 15 Februari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun