Seorang kangmasbro dari Indonesia menanyakan tentang jamur di China via jejaring sosial Facebook. Dia merupakan aktivis pengembangan jamur di Jawa Barat, tepatnya di daerah Purwakarta. Waduh permintaan yang menarik sebenarnya, namun susah dilaksanakan. Ia menanyakan tentang bagaimana teknologi budi daya jamur di China. Kediaman saya ada di pusat kota, agak jauh dari daerah pertanian. Lagipula saya sangat buta dengan peta pertanian di daerah Wuhan yang terkenal dengan danau – danaunya ini. Oleh karena itu saya meminta maaf kepadanya, tidak bisa memenuhi harapannya. Lagipula apakah cuaca disini (empat musim) dengan di Indonesia membuat teknologi penanaman jamur sama atau berbeda, saya tidak begitu paham.
Tapi saya adalah penyantap jamur. Membandingkan perjamuran di Indonesia dan di sini, tampaknya jamur disini akan terus ada dan berkembang menjadi bagian dari kuliner masyarakat. Kalau berkunjung ke pasar tradisional ataupun ke super market, maka akan ditemukan berbagai macam jamur. Mulai dari yang seperti kuping sampai yang putih – putih kecil panjang ataupun bulat, mulai dari yang biasa sampai yang berlabel organik. Jamur menjadi bagian tak terpisahkan dari menu dapur rumah tangga maupun gerai penjual makanan di kantin – kantin dan rumah makan China.
Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas, jamur di pasar – pasar kita sangat terbatas jenisnya dan jarang ditemukan, kecuali di gerai – gerai tertentu. Padahal jamur memberikan manfaat yang luar biasa bagi kesehatan dengan harga yang lebih murah. Pola konsumsi kita cenderung mengabaikan kesehatan jangka panjang, dan mencari kemudahan dan kenikmatan sesaat dari makanan cepat saji. Sementara orang lain sudah berusaha meninggalkan fast-food, memanfaatkan slow-food.
Makanan atau jajanan tradisional disini juga tetap bertahan di sela – sela gempuran produk asing. Produk lokal seperti kuaci misalnya masih banyak dikonsumsi dan diperjual belikan di pasar – pasar. Berbagai varian rasa dan jenis biji ada disini, tinggal membeli sesuai selera. Ada rasa asin, manis, atau netral (tanpa rasa). Seorang teman pernah kebanyakan makan kuaci asin sampai bibirnya ‘jontor’, mungkin rasa asinnya yang keterlaluan. Makanan tradisional untuk tradisi tertentu dijual mahal pada musimnya, namun pada saat tertentu diobral besar – besaran.
Minuman teh dari Cina juga tetap menjadi minuman nomor satu, walaupun sebagian generasi mudanya telah beralih dengan minum kopi. Bermacam – macam teh ada, mulai dari yang murah, sampai yang sangat mahal, dari yang bubuk sampai yang mambatu. Penduduk Cina juga terkenal sebagai penduduk dunia nomor satu yang mengkonsumsi arak. Meminum arak bagi penduduk local disini seperti meminum air putih. Sarapan, makan siang ataupun makan malam minumnya dengan arak merupakan pemandangan biasa. Konsumsi teh bubuk masih popular di kalangan anak muda, sedangkan kita lebih memilih teh celup.
Di pasar – pasar para pedagang teh, pedagang kuaci, dan pedagang jamur adalah profesi pilihan dengan mayoritas barang dagangannya berupa the, kuaci dan jamur itulah. Kios – kios kecil yang menghidupi keluarga dari benda – benda tersebut.
Kita mengenal istilah ‘menjamur’, menunggu sampai ‘jamuran’, mungkin di masa depan istilah-istilah itu menjai aneh, karena kita sudah tidak memakan jamur, atau jamur semakin hilang dari peredaran.
Wuhan, 2012 – September – 18. Sumber gambar : http://bisnisukm.com/cara-budidaya-jamur-tiram-di-daerah-panas.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H