Salahsatu pembicara yang saya sukai di situs TED adalah Hans Rosling. Ia seorang Swedia yang memiliki kepakaran di bidang Statistika. Bersama timnya ia menciptakan Gapminder sebagai piranti lunak untuk melihat statistika dari sesuatu hal. Gapminder bisa diunduh secara cuma-cuma dengan mengambilnya di situs Gapminder.com. Melalui piranti lunak ini kita bisa melihat data secara berlanjut mengenai sesuatu hal. Misalnya tingkat kesejahteraan setiap negara melalui survey.
Salahsatu data yang mengenaskan adalah data penelitian TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study) di Gapminder. Sejak pertamakali mengikuti survey tersebut dari tahun 1995 Sampai 2007 hasilnya untuk Indonesia relatif sama, berkisar pada angka 405, bandingkan dengan Malaysia; 474, Thailand; 441. Dengan demikian hiruk pikuk reformasi di bidang pendidikan, sementara menurut data tersebut, tidak berkorelasi positif dengan prestasi belajar Matematika siswa kelas 8 Sekolah Menengah Pertama.
Statistika anak muda memang harus menjadi perhatian pemerintah. Salahsatu kajian terjadinya ‘Arab Spring’ adalah terjadinya gap/kesenjangan antara usia rata-rata penguasa dengan mayoritas penduduk di Negara-negara Arab (kaum pemuda). Ketika kaum muda dan kaum penguasa tidak memiliki kesamaan pandangan, maka terjadilah reformasi di Tunisia dan Mesir.
Ketika berbicara di forum TED di Qatar, Uni Emirat Arab, Hans Rosling berbicara mengenai tidak adanya keterkaitan antara jumlah anak dengan agama. Menurut prediksi statistiknya, terdapat kecenderungan jumlah anak cenderung menurun pada berbagai agama di seluruh dunia. Simulasi yang dia buat menyatakan bahwa sampai tahun 2100 penduduk dunia akan berkisar sekitar 10 milyar. Oleh karena itu maka para pemimpin dunia dan pemimpin perusahaan harus membuat kebijakan berdasarkan jumlah tersebut.
Di Indonesia data statistik yang paling sering dipergunjingkan adalah angka kemiskinan dan tingkat kesejahteraan. Rakyat sering dipertontonkan dengan perdebatan tentang jumlah kemiskinan, tingkat kesejahteraan dan sebagainya oleh para politisi dan ilmuwan. Potensi jumlah kaum muda di Republik ini, masih belum menjadi target pembangunan sumber daya manusia.
Kebijakan satu anak di China menyebabkan jumlah anak kecil menjadi relative jarang. Dampaknya adalah jumlah orangtua terlihat menonjol. Di berbagai tempat sering dijumpai para orangtua beraktifitas. Kebijakan yang dimulai sejak tahun 1980-an ini menyebabkan anak menjadi begitu istimewa. Seorang anak akan diasuh oleh dua pasang kakek nenek selain dari orangtuanya. Dimana-mana ditemukan orangtua beraktifitas. Sejak matahari terbit sampai matahari tenggelam ditemukan para orangtua di jalanan. Sebagian dari mereka melakukan kegiatan di Pusat Kegiatan Orangtua yang ada di kampus, atau di taman-taman sekedar berlatih Taichi atau jalan-jalan. Beberapa pakar meminta pemerintah China meninjau kembali kebijakan satu anak, karena Negara iniakan terlalu cepat ‘menua’ sebelum sejahtera. Populasi orangtua yang harus ditanggung oleh angkatankerja produktis semakin banyak,sementara jumlah pekerja cenderung berkurang.
Kebanyakan pengantar jemput anak ke sekolah SD disini adalah para kakek nenek. Perekonomian yang berkembang cepat membuat kedua orangtua bekerja merupakan hal umum terjadi. Akhirnya sang anak diasuh oleh kakek dan nenek. Umumnya kakek dan nenek memiliki kasih saying yang berlebih kepada cucunya. Apapun yang diminta pasti akan diberikan. Para ‘raja kecil’ memperoleh fasilitas dari kakek nenek. Mereka dibawakan tasnya ke sekolah, diantar jemput, dan selalu diperhatikan berbagai kebutuhannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H