Memiliki kemampuan manajerial bukanlah warisan. Kemampuan manajerial dibentuk oleh karakter dan juga pengalaman hidup berorganisasi. Tidak jamannya lagi sekarang, bahwa seorang Ketua RT (Rukun Tetangga), anaknya pasti akan memiliki kemampuan manajerial ke-RT-an seperti juga ayahnya. Karena untuk menjadi Ketua RT, sang ayah bekerja untuk meraih kepercayaan publik dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga akhirnya masyarakat mempercayainya, dan memilihnya menjadi Ketua RT.
Ketika berorganisasi, seseorang akan mempelajari berbagai hal. Mengetahui bagaimana Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi tersebut berlaku.Â
Mempelajarinya sebagai pedoman berperilaku dan berkarya. Kemudian ada sumber daya manusia yang tergabung dalam organisasi tersebut. Kesamaan visi menjadi dasar kebersamaan.Â
Setelah itu, maka Ketika organisasi berjalan, muncul solidaritas korps dan rasa kebersamaan, bahkan rasa persaudaraan. Karena jika dihitung secara kuantitatif, mereka menghabiskan waktu bersama, lebih banyak daripada dengan keluarga masing-masing. Setelah berhenti berorganisasi, maka ia menjadi alumni.Â
Pada saat itu baik dan buruknya berorganisasi menjadi warisan pengalaman yang membekas kuat, sehingga bisa menciptakan masa depan apa yang memang diinginkan oleh seseorang. Jika seseorang memiliki pola pikir yang bertumbuh (growth mindset), maka dari pengalaman kecil di organisasi tingkat rendahan, akan mampu mengembangkan diri sehingga menjadi seorang yang besar, di organisasi yang lebih besar.
Seorang guru besar diberhentikan dari jabatan sebagai Rektor, dan kemudian didakwa kasus kejahatan dalam perguruan tinggi, sekilas berita melintas di kasus di suatu negeri. Kejadian itu memberikan sinyal bahwa jabatan fungsional dosen tertinggi tidak berkorelasi positif dengan kemampuan manajerial.Â
Manusia memiliki keinginan yang tidak terbatas. Ketika berada di posisi tertinggi, maka godaan-godaan untuk meraih keinginan-keinginan baru, mulai menyeruak. Maka timbul niat, ditambah ada kesempatan. Seorang pimpinan tertinggi memiliki veto, untuk sesuatu yang besar. Jika dilaksanakan dengan tidak bijaksana, maka ia akan menjadi bumerang di masa yang akan datang.
Dengan kepangkatan akademik guru besar, orang yang dibawahnya akan merasa minder. Tetapi sebenarnya tidak perlu dirisaukan, karena ia menjadi profesor pada bidang ilmunya saja.Â
Ketika di bidang ilmu lainnya, ia masih belajar juga, sama dengan yang lainnya. Namun ketika seorang guru besar menjadi rektor, dan ia memiliki kapasitas kepemimpinan yang mumpuni, maka ia akan dihargai oleh beragam anggotanya yang kalangan akademisi maupun tenaga kependidikan biasa.Â
Menurut kisah dari teman, di negara maju tertentu, jabatan struktural dihindari oleh para guru besar. Karena mereka merasa itu bukan passionnya. Mereka lebih menikmati dunia mengajar dan meneliti, serta berinteraksi dengan komunitas pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Menjadi guru besar adalah penghargaan terhadap karir akademik seseorang. Bukan di bidang manajerial yang ada di perguruan tingginya. Kemendikbudristek di Indonesia cukup progresif, dibawah kawalan Menteri Nadiem Makarim yang sukses memimpin Gojek. Perubahan yang cepat menjadi pilihan, tetapi beberapa hal memang masih perlu terus menerus dikembangkan lebih baik dan lebih baik.Â