Jika berkunjung ke toko buku, pasti ada beberapa buku tentang Ikigai. Ini adalah salahsatunya. Ditulis oleh Ken Mogi, PhD. Orang Jepang yang berprofesi sebagai penyiar, penulis dan brain scientist. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Noura Books, bagian dari Penerbit Mizan, dari buku terbitan di Inggris The Little Book of IKIGAI, terbitan tahun 2017.
Membaca buku ini seperti menyelami budaya Jepang. Konsep Ikigai adalah konsep yang hadir dalam budaya Jepang yang terbentuk selama ratusan tahun, dan sampai sekarang masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Kita akan menemukan keunikan-keunikan pada budaya dan orang-orang Jepang, dapat dijelaskan dengan sederhana melalui konsep Ikigai. Kenapa orang Jepang begini dan kenapa begitu, Ikigai menjadi penjelasannya.
Sumo, pemandian air panas, upacara minum teh, usaha keluarga yang berusia ratusan tahun, seniman sebagai tradisi keluarga yang diwariskan antar generasi, agama Sinto, pemahaman bangsa Jepang terhadap budaya asing yang masuk, agama asing, sekolah, budaya kerja, manga, costum play, dan semua hal di Jepang, tidak terlepas dari konsep Ikigai.
Ikigai dibangun atas dasar lima pilar yaitu: awali dengan hal yang kecil; bebaskan dirimu; keselarasan dan kesinambungan; kegembiraan dari hal-hal kecil; dan; hadir di tempat dan waktu sekarang. Secara bahasa Ikigai berasal dari kata iki (untuk hidup) dan gai (alasan). Sebuah istilah umum yang digunakan secara luwes, demokratis, dan merayakan keberagaman hidup. Ikigai setiap orang bisa berbeda-beda.Â
Seorang koki profesional pemilik bintang tiga Michelin, menekuni profesinya dengan sepenuh hati, disiplin, dan kerja keras sebagai Ikigai-nya. Maka ketika ia dihargai, itu adalah bonusnya. Tidak ada tempat untuk merasa terpuji dan jumawa sebagai Ikigainya. Bisa jadi Ikigai-nya adalah pada saat berkas matahari menembus dedaunan pohon saat ia berjalan menuju restorannya di pusat kota Tokyo (halaman 7).
Ikigai diartikan juga sebagai makna hidup. Ketika seseorang memiliki makna hidup, maka mereka cenderung lebih sehat, menikah, berkeluarga, berolahraga lebih banyak, tidak punya gangguan kardiovaskuler, dan berumur lebih panjang. Kegigihan dalam menjalani hidup sejak belia dan selamanya, adalah simbol bangsa Jepang. Mereka tidak mau pensiun, tetapi tetap mencari kesibukan untuk mencirikan bahwa mereka bermanfaat bagi lingkungannya, dengan memiliki pekerjaan kedua.Â
Ikigai dimulai dari hal-hal yang kecil, kemudian ia ditekuni untuk menjadi bagian dari diri. Ditumbuhkan secara rahasia dan perlahan-lahan, hingga suatu hari ia akan menghasilkan buah yang orisinal. Dalam konsep Islam, dikenal istilah bersyukur.Â
Kalau kita bersyukur maka Allah akan menambah-nambah rezeki hambaNya. Kesyukuran tersebut disalurkan dengan tindakan yang bersungguh-sungguh menjalani profesi tertentu. Ikigai-nya seorang muslim adalah mensyukuri profesi apapun yang dimilikinya, kemudian bekerja dengan sungguh-sungguh penghayatan pada profesinya. Itulah Ikigai.Â
Kalau kita bekerja belum bersungguh-sungguh, maka tidak memiliki Ikigai. Bangun pagi tidak memiliki alasan positif. Apa Alasan Anda Bangun pada Pagi Hari? Ketekunan juga dikampanyekan dengan konsep man jadda wajada, sebuah proverb Bahasa Arab yang ramai saat novel A Fuadi tentang pengalaman di Pesantren Gontor menjadi booming di Indonesia.
Semangat hidup muncul saat bangun pagi. Ada sesuatu yang menjadi tujuan pada hari ini. Tujuan yang dijalani dengan ketekunan. Setiap orang memiliki Ikigai-nya masing-masing. Bisa jadi adalah sesuatu yang kecil, sederhana, remeh temeh, dan menuntut ketekunan (istiqomah). Bangun pagi menjadi tradisi bangsa Jepang bahkan sejak masa Keshogunan Tokugawa, saat 80% dari seluruh populasi adalah petani. Pertanian yang sukses didukung oleh bangun di awal pagi.
Barang atau jasa berkualitas tinggi dihasilkan oleh bangsa Jepang. Bermula dari konsep kodawari yang susah dipadankan pada bahasa asing. Kodawari bisa diartikan sebagai komitmen atau desakan secara pribadi pada seseorang, untuk menghasilkan barang atau jasa yang berkualitas  tinggi.Â