Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita 1998

4 Juni 2023   21:49 Diperbarui: 5 Juni 2023   17:57 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cerita 1998 adalah cerita tentang pergerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa ini juga ditambah dengan beberapa elemen masyarakat lainnya. Pergerakan mahasiswa muslim dan unsur lainnya membuat pemerintah Orde Baru harus berhenti. Sebagai bagian dari mahasiswa yang kebetulan ada di Jakarta. Dari kampus perguruan tinggi Islam. Maka penulis juga ikut menjadi bagian dari mahasiswa yang berdemonstrasi ke Senayan. Masuk ke gedung DPR yang sudah dikuasai mahasiswa, namun tidak sampai menginap disana karena suasana yang begitu genting. Pulang berjalan kaki bersama teman-teman dan senior mahasiswa. Karena kendaraan umum relatif jarang saat itu. Pada masa itu sebagai mahasiswa baru, penulis mengalami masa pekan perkenalan yang khas pada jamannya, dengan senior yang sangat berkuasa. Saat menjadi mahasiswa baru juga pernah ikut kursus pers dan jurnalistik di sebuah kampus di selatan Jakarta. Salahsatu momennya adalah kunjungan ke Kompas, yang menjadi rumah dari blog ini. Peristiwa itu mungkin merupakan titik dan titik dalam kehidupan penulis yang terus berhubungan sehingga menggariskan pengalaman hidup seperti sekarang ini.

Namun pada saat suasana tidak terkendali, penulis kembali ke kampus di timur Jakarta. Saat itu beberapa tekanan terhadap kampus muncul. Antara lain adanya seseorang, yang seperti orang gila, berkeliaran dekat gerbang kampus. Kalau dari intel, pasti sudah ada. Para penjaga keamanan di kampus mempunyai jalur koordinasi dengan aparat keamanan level babinsa dan reserse kepolisian.

Gerakan orang-orang terorganisir yang melakukan penjarahan dikemukakan pada beberapa data. Banyak korban dari rakyat biasa yang terbawa oleh arus. Cerita 1998 adalah bukan murni gerakan mahasiswa, ada kekuatan lainnya yang bermain. Para warga Indonesia keturunan Tionghoa banyak menjadi korban. Di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Ini juga fakta yang tak terbantahkan. Puluhan tahun setelah peristiwa tersebut, penulis meluaskan wawasan pergaulan dan studi lanjut. Mengenal lebih luas suku bangsa selain yang dimiliki. Dari pergaulan tersebut penulis dapat mengetahui tentang mereka. Yang selama ini dianggap sebagai liyan. Seseorang yang asing. Namun dalam kenyataannya mereka adalah bagian tidak terpisahkan dari bangsa ini. Mereka sama dengan kita. Ada yang menjadi pahlawan dan ada yang menjadi pengkhianat. Kepahlawanan dan kekhianatan ternyata lintas suku dan ras. Bahkan pribumi yang culas dan menjual bangsanya sendiri juga ada. Realitas kehidupan manusia memang seperti ini. Kita akan meninggalkan belang, dari apa yang kita perbuat sebelumnya.

Kini para pelaku gerakan reformasi dari kalangan mahasiswa saat itu, sudah bertransformasi. Menjadi berbagai kalangan yang mengisi reformasi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka yang di pemerintahan pada saat 1998, tersebar di berbagai peran. Sebagian aktifis 1998 tetap setia mengadvokasi masyarakat pada berbagai aspek kehidupan. Seperti gerakan mahasiswa pada berbagai angkatan, angkatan mahasiswa Indonesia di Belanda pada jaman kolonial, angkatan muda pada masa proklamasi, angkatan 1966, angkatan 74 an, angkatan 98-an, pasti ada beberapa orang yang beralih peran. Asalnya mendemo jadi yang didemo. Demikian pula angkatan tahun 1998-an. Karir hidup manusia harus berputar mengikuti perubahan jaman. Setiap jaman mempunyai pahlawannya masing-masing.

Beberapa korban manusia dihilangkan oleh rezim. Sampai sekarang masih tidak jelas. Wiji Thukul misalnya. Semoga pengorbanan para korban gerakan reformasi tidak sia-sia. Reformasi dapat terus berjalan membentuk negara Indonesia yang lebih baik. Lebih sejahtera, lebih berpendidikan, lebih bermartabat. Penghilangan paksa oleh kekuatan tertentu telah menjadi sebuah fakta sejarah yang tidak tuntas.

1995 adalah awal saya berkuliah di Jakarta. Di sebuah lembaga pendidikan tenaga kependidikan swasta perguruan tinggi Islam. 1996 mulai berkiprah di organisasi ekstra kampus. Meniti karir dari bagian perlengkapan. Kemudian mengikuti kegiatan-kegiatan lainnya seperti bakti sosial ke Kerawang, dan ke perkampungan Baduy Luar, yang sudah beragama Islam di daerah Margaluyu, Lebak, Banten. Lokasi kampus yang berada di pinggir Jakarta, menjadikan akses terhadap kerusuhan 1998 tidak begitu kentara. Namun ada riak-riak kerusuhan di sekitar Cililitan saja. Suasana genting dan mencekam. Terdengar simpang siur cerita orang awam yang ikut menjarah, mendapatkan barang elektronik kemudian dijual murah. Atau tentang orang-orang yang terbakar di dalam mall. Forum Kota adalah nama yang cukup terkenal. Tetapi penulis bukan jadi bagian itu. Untuk menjadi bagian dari Forkot berasal dari circle tertentu, yang suatu saat atau bahkan sekarang, akan ada ceritanya yang tertulis dalam lingkaran sejarah. Cerita tentang Forkot, Cerita tentang Pam Swakarsa, dan sebagainya.

Sebagai orang kampung yang merantau ke kota, apalagi ibukota, tentu banyak kekhawatiran dari keluarga saat itu. Tidak memiliki jejaring permodalan untuk bergerak membela negara. Saat itu, memiliki pager karena aktif di pasca peristiwa 1998, adalah sesuatu yang keren. Merk motorola, karena menjadi aktifis pemantauan Pemilu JPPR. Pelaku level bawah yang memantau pelaksanaan di tempat pemungutan suara paling bawah.

Harapan untuk kemajuan tetap ada. Jangan sampai semangat reformasi di bajak oleh kepentingan-kepentingan petualang politik. Mereka yang memiliki kapital, tetapi tidak memiliki idealisme reformasi. Mereka yang ingin maju demi kepentingan golongannya saja. Dibutuhkan peran negarawan reformasi, yang berani membongkar pelanggaran hak asasi manusia korban gerakan reformasi, dan meminta maaf kepada para korban gerakan reformasi. Harapan terhadap kemajuan bangsa adalah hal yang wajar. Kini bangsa Indonesia akan dan bahkan telah mengalami bonus demografi. Penduduk angkatan kerja menjadi populasi yang dominan. Hal ini tentu saja penting untuk memperkuat kebangsaan untuk tujuan yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun