Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Utang dan Konsumsi

5 Januari 2023   08:47 Diperbarui: 5 Januari 2023   09:00 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Membuat utang baru untuk kegiatan konsumtif tidak dianjurkan oleh para ahli perencana keuangan. Pada beberapa aspek, para pemimpin keluarga berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berutang. Berutang kepada lembaga keuangan atau individu. Individu yang mau mengutangi juga ada beberapa macam. Ada seseorang yang memberi utang dengan asal. 

Asal ada jaminan. Itu terjadi di suatu kampung, mungkin juga ada di daerah perkotaan. Suatu kisah nyata, seseorang yang mendapat musibah, meninggal salah satu anggota keluarganya, meminjam uang kepada seseorang, dengan menjaminkan kambing yang dimilikinya. Bahwa kalau sampai pada tenggat tertentu tidak bisa membayar. Maka kambingnya dimiliki oleh sang pemberi utang. 

Ekonomi kapitalis dibangun oleh sistem utang. Bagaimana mobil dan motor baru terus menerus dikeluarkan dan diperjual belikan dengan sistem kredit (utang). Dengan maraknya dijitalisasi keuangan, saat ini muncul sejenis finansial teknologi yang menawarkan pinjaman uang dengan mudah dan cepat. Sistemnya lebih fleksibel daripada perbankan atau lembaga keuangan konvensional lainnya seperti koperasi atau pegadaian. Sistem ini terbukti bisa merugikan dan menguntungkan. Kerugiannya adalah banyaknya orang yang terjerat oleh perusahaan pinjaman daring (pinjol). Karena tidak semuanya terdaftar pada OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Perusahaan fiktif, rentenir berkedok pinjol. Ditambah lagi oleh literasi dijital manusia Indonesia yang rendah. menganggap bahwa semua yang di internet itu benar, legal, dan bisa dipercaya. Akhirnya pada beberapa kasus terjadi perceraian, bunuh diri, tindakan kriminal dan hal-hal lainnya karena terjerat pinjol.

Seorang teman mendorong berutang dengan alasan, bahwa kalau berutang maka bekerja akan lebih sungguh-sungguh. Ada juga teman yang sama sekali berusaha untuk meninggalkan sistem utang. Kalau masih bisa mandiri dengan yang ada, maka tidak akan berutang. Mensyukuri segala yang ada.  

Faktor keluarga bisa menjadi pendorong untuk berutang. Melihat segala sesuatu dari kacamata orang lain. Lihat si anu sudah punya mobil, lihat si anu sudah punya rumah. Akhirnya karena rasa iri, tidak rasional, dan segala emosional. Meminjam uang untuk membeli mobil, di bank. Mobil di Jabodetabek ini jarang dipakai. Hanya pada hari sabtu awat ahad saja. Karena kalau dipakai pada hari kerja akan: biaya tinggi dan rugi waktu. Akhirnya uang pinjaman itu mangkrak di rumah. Hanya jadi kebanggaan saat mudik lebaran. Kalau di jual lagi, harganya lebih murah. Tak heran jika di kota negara-negara maju seperti di Tokyo, manusianya lebih memilih menggunakan transportasi massal. Karena tidak rasional untuk membeli mobil pribadi saat harga angkutan umum lebih murah. 

Fenomena beli mobil tidak punya parkiran, yang terjadi di Jabodetabek. Merupakan gambaran dari ekonomi utang slash ekonomi kapitalis yang berjaya di atas rasionalitas/common sense. Pemerintah juga perlu dikritisi untuk lebih mengarusutamakan angkutan massal dalam proses pembangunan fisik perkotaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun