Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Pembangunan" Era Digital

17 September 2020   08:56 Diperbarui: 17 September 2020   09:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini akan membagikan pengalaman pembangunan dalam hal yang sebenarnya. Membuat bangunan yang memerlukan semen dan lain-lain. Serbuan budaya digital sudah menjalar ke berbagai aspek kehidupan, demikian pula dengan pertukangan pembangunan. Memiliki sedikit budget, dan ingin menutup halaman belakang dengan dak adalah permasalahan saya. Sebagai awam saya perlu bertanya-tanya ke orang-orang sekitar.  Berapa biaya untuk membangun atap dak rumah. 

Seorang teman merekomendasikan saudaranya. Kami pun mengundangnya kerumah melihat apa yang akan dibangun. Dan mendiskusikan konsep bangunan serta pembiayaannya. Ternyata biayanya cukup mahal, karena mematok biaya per meter persegi. Selain itu biaya bahan bangunan ditanggung oleh saya sendiri. Opsi ini tidak dapat disetujui oleh anggaran yang kami miliki.

Opsi lainnya adalah mencari tukang bangunan dari kampung. Mencari saudara yang berprofesi di bidang itu. Ini juga menjadi opsi, tetapi saya dan istri mencari opsi yang lebih efisien dan efektif. Dengan mesin pencari akhirnya diperoleh beberapa situs yang menawarkan jasa pembangunan.  Situs yang terhubung dengan media Whatsapp memudahkan komunikasi. Dari iseng menghubungi sampai akhirnya terjalin komunikasi. AKhirnya disepakati untuk survey lapangan, yang tanpa biaya. Kopi darat setelah sebelumnya hanya ber WA-an. 

Kemudian luas yang akan dibangun diukur, dan didiskusikan konsep dak yang akan dibuat. Beberapa hari kemudian pihak pemborong tersebut mengirimkan draft penawaran. Kami mendiskusikannya berdua, dan juga mencari info dari pihak lain sebelum akhirnya sepakat. Sebagaimana adat orang Timur, maka terjadi tawar menawar. Tawar menawar anggaran berhasil menurunkan biaya sebesar 3 juta.

Sebenarnya sebelum deal, penandatanganan SPK, saya dan istri masih sedikit ragu, untuk bekerjasama dengan pihak yang baru kenal. Apalagi di internet tersebar cerita bagaimana para pemilik rumah ditinggalkan pemborong ketika biaya sudah diberikan, tetapi pekerjaan tidak dikerjakan penuh. 

Namun dari pihak pemborong memperlihatkan itikad baik. Kalau belum punya uang juga tidak mengapa, nanti dibangun dulu, uang kemudian. Hal ini meningkatkan kepercayaan kami terhadap mereka. Sehingga kami memberanikan diri menandatangani SPK, dan membayar setengah dari biaya yang disepakati diawal proyek. 

Akhir cerita dak rumah pun jadi. Ternyata Pemborong yang saya dapatkan di internet itu memiliki beberapa tukang bangunan yang mengerjakan sub kontrak tersebut. Leadernya adalah pak K. yang mengerjakan proyek saya, di hari-hari awal yang membantunya adalah dua orang, masih saudaranya. 

Ditengah jalan yang dua orang mundur. Proyek terus berjalan, Pak K merekrut pekerja-pekerja lepasan/harian untuk membantunya. Pernah sekali membawa tukang galian, yang membantunya mengerjakan proyek. Walaupun masih sedikit rasa ragu, ternyata tidak terbukti sampai akhir. Ruang belakang rumah di dak, dengan bahan bondek, wiremesh, cakar ayam dan bahan-bahan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun