Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kepemimpinan Elit

10 Desember 2018   17:52 Diperbarui: 10 Desember 2018   18:25 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepemimpinan yang hanya berputar pada sekumpulan orang saja, menciptakan golongan elit yang berkuasa pada jangka waktu yang lama. Bisa puluhan tahun. Dampaknya adalah berkurangnya kader potensial. Perubahan juga menjadi melambat. Karena dinamika perubahan yang lambat dicerna oleh para pejabat yang menikmati status quo terlalu lama. Jangan-jangan ini yang terjadi pada negara kita, jika kita lihat tokoh-tokoh yang beredar adalah para pemimpin elit yang mungkin berakar atau berasal dari satu pihak tertentu, yang kemudian berbeda jalur, namun tetap berada di jajaran elit.

Ada orang yang menjadi pimpinan level atas, dengan kurun waktu dua puluh tahun lebih, sementara yang lainnya menjadi pekerja dengan level yang sama selama dua puluh tahun tersebut. Tanpa ada perubahan yang signifikan. Hal ini bisa terjadi di organisasi manapun, di eksekutif, legislatif, yudikatif, swasta, negeri, maupun lembaga swadaya masyarakat. Ada yang sudah dua atau tiga periode menjadi legislatif, walaupun belum berprestasi nyata, tetapi prestasi pribadinya adalah terpilih dua atau tiga kali periode, adalah cukup bagus bagi nilai kepribadiannya.

Saat ini beberapa pemimpin mulai muncul dengan jargon masing-masing. Ada yang terang-terangan meminta doa dan dukungan, ada juga yang "menipu" dengan membuat seolah-olah iklan layanan masyarakat untuk Pemilu 2019, tapi diujungnya ada ajakan memilih dia. Baru calon saja sudah menipu, apa lagi kalau sudah terpilih. Wkkkkk. 

Yang melanggar aturan dan norma etis dengan memaku pohon, memasang tanpa ijin, atau pada tempat milik pemerintah, ternyata cukup seragam, ada pada semua partai baik yang berasas nasionalisme ataupun agamis. Selama belum dilarang atau diturunkan oleh petugas, mereka, atau tim suksesnya, pura-pura tidak tahu aturannya. Mereka muncul dengan jargon-jargon yang dipilih secara cermat oleh tim suksesnya. Sekiranya sekarang masyarakat cukup cerdas untuk memilih sesuai dengan kepentingan yang dianggap sejalan dengan kepentingan atau idealisme masyarakat. Bisa jadi, caleg DPD, DPR, DPRD I, DPRD II, dan Calon Presiden dipilih lintas parta politik. Bisa jadi terjadi seperti itu.

Jaman sekarang adalah jamannya disrupsi. Para Baby Boomers masih tergagap-gagap dengan kenyataan. Maksud hati ingin memimpin perubahan, tetapi tidak memiliki pemahaman mendalam esensi kaum milenial. Sehingga selalu terheran-heran, marah-marah, dan berusaha keras memahami sesuatu yang di luar pemahamannya. Sedangkan Gen-X, sebagian memahami sebagian tidak. Mereka adalah perantara dua generasi yang bisa memahami dua kutub yang berbeda. Tinggal kecenderungannya kemana. 

Milenial "membunuh" everything!!!. Demikian ramai dibahas di belahan dunia Barat. Pada kenyataannya beberapa aspek juga memiliki realitas yang terjadi di dunia Timur. Beberapa hal yang menurun drastis tidak disukai atau dikonsumsi oleh kaum milenial menurut situs Ranker di https://www.ranker.com/list/everything-millennials-are-killing/mariel-loveland adalah : Bisnis Properti, Pernikahan, Jabat Tangan, Bekerja Rutin dari jam 9 sampai jam 5 sore, Sarapan Sereal, Celana setelan kerja, Sabun Batangan, Olahraga Golf, Intan, dan Makanan dalam Kaleng. Demikian yang terjadi di Barat sana. Untuk kasus di Indonesia, bisa juga diteliti lebih rinci lagi. Karena apa yang terjadi di sana, belum tentu sesuai jika dikomparasikan dengan dunia Timur yang memiliki sistem nilai yang relatif berbeda. 

Bisa dibayangkan jika sebuah lembaga yang bersentuhan dengan kaum milenial. Tetapi tidak memahami karakter mereka. Maka akan terjadi konfrontasi atau "dikerjai" oleh kaum milenial. Kementrian BUMN dipimpin oleh seorang menteri yang menjabat Direktur Keuangan di Astra pada usia 31 tahun. Sangat sadar akan potensi kaum milenial. Menurut data yang diperoleh pada saat pertemuan FHCI (Forum Human Capital Indonesia) di Makassar pada bulan lalu, hampir rata-rata kaum milenial sebesar 40 persen dari porsi total karyawan BUMN di Indonesia.

Oleh karena itu, kaum swasta juga harus mulai mendekati kaum milenial. Sebagai potensi kader masa depan perusahaan atau organisasi. Pemerintah sudah melakukannya, pada BUMN. Kepemimpinan ala Baby Boomers, Gen-X, sudah harus beradaptasi dengan disrupsi yang sedang terjadi. Menuju "new" normal. Banyak contoh berserakan yang bisa dikais oleh para pecinta perubahan menjadi lebih baik. Misalnya bagaimana menjadikan masjid menjadi sesuatu yang dekat dengan kaum milenial. Kisah indah yang patut dicontoh adalah dari Masjid Jogokaryan di Yogyakarta. Pengurus masjid yang ikhlas dan berwawasan milenial menjadikan masjid jadi tujuan generasi muda. Bukan masjid yang hanya berisi ceramah-ceramah satu arah, dengan isi para orang tua yang tekun beribadah di sisa umurnya dan sedikit kaum muda. Masjid yang sering terjadi pencurian karena tidak ada CCTV-nya, bahkan pada tas, seluler, maupun sandal/sepatu para jamaahnya. Masjid yang dijaga Satpam saat jamaah terlaksana. Masjid yang tidak ada minuman sama sekali, yang masih bisa dipakai untuk tidur-tiduran istirahat siang antara dzuhur dan ashar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun