Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memahami Intelektualitas Bukittinggi

24 Juli 2018   15:30 Diperbarui: 24 Juli 2018   15:55 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana mungkin... 5 dari 9 anggota BPUPKI adalah orang Minang. Bagaimana mungkin, kota kecil yang terdiri dari tiga kecamatan ini sudah berusia ratusan tahun. Dan kesinilah perintis Pondok Modern Darussalaam Gontor, di Ponorogo Jawa Timur. Menuntut ilmu. 

Ke Sumatera Barat. Ke Sumatera Thawalib Padang Panjang, selain belajar di Kwekschool Padang Panjang. Buya Syafii Maarif pernah menulis tentang intelektualitas nasionalistik Sumatera Barat, yang dahulu terkenal, kini tinggal cerita, karena telah berorientasi pasar dan orientasi pribadi. Walaupun mungkin masih ada juga para pemikir dari wilayah ini. Namun belum ada yang sekaliber HAMKA, Natsir, Syahrir, Mahmud Yunus, Tan Malaka, untuk menyebut nama.

Perjalanan ke Padang terlaksana pada 2 Juli 2018. Melaksanakan tugas dari pimpinan untuk menghadiri acara pertemuan nasional ara penggerak internasionalisasi kampus. Pada acara yang dihadiri 130 an kampus se Indonesia. Unand menjadi tuan rumah, berkolaborasi dengan Kasubdit Kerjasama Kemristekdikti and the gang... Padang terlalu tidak percaya diri untuk menjadi host. Ia menyerahkan lokasi ke Bukittinggi. Kota berwibawa yang penuh historis.

Saat mendarat di bandara internasional yang tampak menunduk ramah dan sederhana, suasana terasa seperti di negeri jiran. Hampir semua pribumi dan berpakaian santun. Dan disini mulai terlihat kelebihannya dari provinsi lain. Tidak ada waralaba supermarket yang dominan "indo-atau alfa". Itu kesan pertama. Kesan kedua adalah kereta bandara yang punya jadwal yang sedikit. Sepertinya perputaran ekonomi tidak terlalu ramai, di negeri para perantau ini. Setelah jam delapan pagi, kereta api ada lagi pada siang hari, sekitar  tengah hari. 

Walaupun begitu ojek online diterima di masyarakat sini, kedua merk ada. Dan yang paling banyak adalah angkutan tidak resmi yang menawarkan kendaraan seperti biasa, khas Indonesia. Damri dan bis mikro juga ada, Alhamdulillah tarifnya masih masuk akal. Bahkan angkutan jasa travel dari Bukit Tinggi ke Bandara juga hanya Rp. 50.ooo,- sangat terjangkau bagi turis backpacker, dengan jarak yang lumayan jauh.

Harga makanan di bandara juga lumayan terjangkau, walaupun tentu saja lebih murah di luar bandara. menu singkong goreng dan kopi tubruk bisa ditemukan di bandara Padang.

Puluhan ribu orang keluar dari Bukit Tinggi setiap tahun. Demikian menurut Walikota saat menyambut kami dalam jamuan makan malam. Tentu saja, banyak juga kami temukan teman di Muhammadiyah adalah warga Sumatera Barat, dari berbagai daerah masing-masing. Mereka sangat jarang yang kembali ke kampung halamannya. Maka menjadi pekerjaan rumah bagi yang ditinggalkan untuk membangun daerah kelahiran.

(Berfoto bersama Mudir Sumatera Thawalib Padang Panjang, yang mengasuh santri putra. Kebebasan berfikir diajarkan sejak dini di cikal bakal pesantren modern di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1911 ini. )


Bukit Tinggi bisa menjadi tujuan wisata yang menarik. Karena jarak tempuh bisa dengan berjalan kaki. Pedestrian akan diutamakan, ujarPak Walikota. Selain itu, akan dibangun hotel-hotel baru, karena saat ini hotel tidak mencukupi wisatawan yang datang. Kalau mau mendapat penginapan disini, harus pesan satu bulan sebelumnya. Kalau tidak, maka siap-siap menginap di mobil atau di masjid-masjid. Kota ini juga akan dijadikan tujuan konferensi atau istilah kerennya MICE (Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions). 

Kearifan lokal dipertahankan dengan melarang atraksi wisata ala wisata modern yang memiliki jargon dan memperdagangkan 4 S. (Sun, Sea, Sand, and Sex). Disini tidak akan ada minuman keras, legalisasi pekerja seks komersial, dan tidak ada pula diskotik dan bar yang menjualnya. Wisata yang didorong adalah wisata budaya yang halal, murah, ramah anak, dan berwawasan intelektual. Sama seperti ciri khas suku Minang yang menjunjung tinggi intelektualitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun