Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sketsa Mudik, Televisi. Internet dan Ramadan

9 Juni 2018   19:23 Diperbarui: 9 Juni 2018   19:33 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Demikian menurut berita di televisi. Mereka menggunakan semua jenis moda angkutan yang bisa digunakan. Bahkan mereka yang memiliki atau menggunakan bajaj juga dipergunakan untuk mudik. 

Ribuan tenaga kerja dari negeri jiran juga mudik. Mereka terdiri dari pekerja legal maupun ilegal. Semuanya mudik ke kampung halamannya. Dalam perjalanan saya sebangku dengan pekerja migran berasal dari Cirebon, yang bekerja di Makao. 

Nasib mengantarkannya untuk mudik setelah di usir dari Makao, karena keteledoran majikannya. Perjalanan mudik tidak selamanya bernada ceria, ada cerita-cerita duka menyertai perjalanan ini. Maka perlu bersyukur bagi yang memiliki kelebihan dana untuk mudik.

Sebagai perantau saya juga merasakan aura mudik yang cukup sakral ini. Meninggalkan perantauan menuju ke kampung tempat kelahiran. Bertemu dengan teman-teman semasa kecil yang sekarang sudah menjadi orangtua atau kakek nenek bagi keturunannya. Puluhan juta orang kembali ke kampung halamannya untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. 

Untuk merasakan lagi air kampung dan keramahan kampung, yang ternyata mungkin kampung juga sudah berubah. Kampung semakin menjadi kota, karena adanya internet dan televisi yang menyamakan tontonan dan tuntunan hidup. Dulu ditahun 1995 an mersakan berdesak-desakan di Kampung Rambutan menaiki bis tipe ekonomi menuju Bandung. 

Saat itu kalau masuk bis berdesak-desakan, tetapi saat duduk di bangku cuma sedikit yang duduk. Karena saat itu banyak copet yang mencari-cari kesempatan. Kalau sekarang terminal Rambutan tidak begitu menjadi pilihan. 

Penumpang lebih banyak menunggu bis di pintu keluar terminal, atau di belokan Pasar Rebo. Karena sudah ada konsensus bersama, pinggir jalanan menjadi terminal bayangan.  Tentu saja ini tidak begitu aman, tapi itulah pilihan yang paling gampang bagi calon penumpang bis. Kecuali bagi bis antar kota yang berjarak jauh, dalam terminal menjadi pilihan.

Puluhan juta pemudik bergerak menuju kampung halaman. Para wartawan berseragam dengan embel-embel sponsor dimana-mana, berjalan menebarkan informasi kesibukan di jalan, terminal, pelabuhan, bandara, pintu tol, dan pusat-pusat keramaian. Suasana kota-kota besar untuk sementara akan lengang, tidak ada kemacetan. Kemacetan akan berpindah ke kampung-kampung. 

Kota besar dibangun dan diramaikan oleh kaum muhajirin, yang hijrah/pindah dari kampung halamannya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Otonomi daerah sebenatnya juga membuka para talenta untuk pulang kampung membangun daerahnya secara lebih faktual dan permanen. 

Apalagi ada dana desa ratusan juta yang bisa dimanfaatkan untuk menggairahkan pembangunan desa. Desa mengepung Kota. Kalau desanya tidak dibangun dengan baik, maka konsep desa mengepung kota tidak berjalan. Dana desa dikorupsi, desa tetaplah desa. 

Kini mudik ke Bandung dengan menggnakan mobil. Ini lebih nyaman, karena bisa berhenti ketika merasa sudah lelah sang sopirnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun