Tulisan ini ditulis saat ada kasus di kampung. Sampai suatu titik saya merenung, mengapa ada kata kampungan?. Padahal mayoritas kita adalah orang yang berasal dari kampung. Bahkan ada yang memiliki "wajah kampung rezeki kota". Sebaliknya adapula "wajah kota rejeki kampung"... mungkin.
Kata kampungan biasanya memiliki konotasi yang merendahkan. Saya kira disetiap budaya juga ada konotasi seperti itu, apakah di budaya Barat, Arab, ataupun Nusantara. Bahkan kata kampungan juga masuk dalam pembendaharaan kata pembelajaran akhlak dalam agama Islam. Dalam Hadits.Â
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan orang kampung. Tetapi ketika seseorang sudah hidup di kota, maka perilaku kampung harus dirubah. Semisal, membuang sampah. Membuang sampah di kampung lebih mudah, karena tanah masih luas, dan sampah bisa diolah sendiri atau dihancurkan atau dibuang sendiri.Â
Tidak menjadi masalah besar. Tetapi bagi kaum urban, sampah harus dikelola dengan baik, karena jika tidak, maka akan merusak tatanan perkotaan. Buang sampah sembarangan akan menyebabkan bencana di kota, banjir misalnya. Maka bagi yang orang kota yang masih buang sampah sembarangan bisa dikategorikan kampungan. Berperilaku seakan-akan masih di kampung. Juga orang-orang yang merokok di tempat publik, atau buang abu rokok keluar dari mobil, itu adalah kampungan.Â
Kita harus bangga dengan asal kampung kita. Karena tidak ada kota tanpa kampung. Sekarang kampung sedang dibangun, dengan adanya dana kampung ehdana desa. Jika dana desa sudah digelontorkan secara besar-besaran, dan desanya kemajuannya tidak terasa, mungkin perlu diperiksa para aparatnya. Jangan-jangan ada korupsi berjamaah, seperti yang tren dilakukan oleh beberapa anggota dewan di beberapa daerah.
Kata kampungan merujuk pada perilaku negatif. Oleh karena itu bagi warga kampung harus dihindari. Caranya adalah dengan berperilaku positif. Perilaku negatif terjadi karena karakter negatif. Karakter negatif harus dirubah. Perubahan dengan merujuk pada budaya dan agama yang kita miliki. Tidak ada budaya kita yang mengajarkan hal yang buruk, demikian pula dengan nilai-nilai agama. Kadang, hal-hal kecil menjadi besar. Gegara persinggungan antarmanusia warga kampung. Tetapi jika pedomannya sama, budaya dan agama yang mulia, maka hal itu bisa disingkirkan.
Apalagi kalau secara geneologis dirunut. Kebanyakan dari orang sekampung adalah bersaudara. Gegara materi, atau "harga diri" semuanya bisa berubah. Di dunia yang serba "big data" dan "cross culture" serta "being glocal" seperti ini. Perubahan budaya merata dimana-mana. Pertukaran dan perubahan budaya tidak terhindarkan. Banyak kampung sudah "mengota" (warganya menjadi kota/berperilaku seperti orang kota, dalam konotasi negatif - balapan motor, konsumtif,korup, ada rentenir/lintah darat, minuman keras, ganja, dan lainnya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H