Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pengalaman Beli Makanan Daring

17 Maret 2018   09:51 Diperbarui: 17 Maret 2018   10:03 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Cina yang dimusuhi oleh para haters, memiliki pola belanja  yang lebih menguntungkan kedua belah pihak. Seorang teman di medsos  menampilkan foto buah-buahan segar di suatu pasar di kota Wuhan,  Provinsi Hubei. Kalimat pengantarnya mmerupakan opini pribadinya yang  menyatakan keheranannya, kenapa buah-buahan dari Cina di Indonesia  suka  jelek-jelek, menurut anggapan umumnya dia dengar, sedangkan selama dia  tinggal disana, ia selalu menemukan bahwa buah-buahan di pasar selalu  berkualitas tinggi. 

Apakah yang baik untuk konsumsi sendiri, dan yang  jelek di ekspor? Demikian pula pakaian penduduk Wuhan. Mereka cenderung  memiliki standar yang tinggi, tetapi kenapa kualitas yang di ekspor  seringkali jelek? Mungkinkan fenomena ini umum terjadi? atau hanya  kejadian sebagian kecil saja?. 

Dari foto ini juga dijelaskan  bagaimana transaksi sudah menggunakan "barcode" saja. Tinggal scan  barcode yang ada di pasar tradisional, maka transaksi sudah terjadi.  Instal aplikasi ALI***. 

Di Kita? Jakarta saja masih belum punya standar jual beli online yang saling menguntungkan.

Saya  akan bercerita tentang membeli makanan via OJOL. Caranya mudah dan  praktis, tinggal klik maka makanan akan datang. Tapi praktiknya ternyata  lain lagi. Karena hujan rintik-rintik dan mungkin faktor lainnya, dua  OJOL yang sudah menyanggupi akan membelikan makanan buat saya meng-cancel-  orderan. Pengemudi ketiga lebih aktif menanyakan lokasi yang saya tidak  tahu :). Namun dengan kegigihannya akhirnya dia bisa menemukan  lokasinya.

Lokasi ternyata menjadi satu masalah lain. Titik lokasi  di aplikasi dengan titik lokasi yang sebenarnya ternyata berbeda jauh.  Penempatan lokasi menurut Google ternyata tidak akurat. Itu masalah  sendiri dalam berbisnis dengan menggunakan penanda lokasi asing. Mungkin  jika biayanya lebih murah, lebih baik pengusaha pribumi punya aplikasi  peta yang lebih akurat. Jangan mengandakan orang Amerika Serikat sana.

Masalah  selanjutnya adalah pesanan makanan. Ternyata provider makanan  menyatakan makanan yang saya pesan tidak ada. Yang ada adalah makanan  lain yang harganya lebih mahal. Waduh!. Karena lapar ya sudah dibeli  aja. Harga beli naik jadi hampir dua kali lipat. 

Kejujuran penjual masih  menjadi masalah yang merugikan konsumen. Jika makanan tidak ada, kenapa  harus disebut ada! Perlu ada mekanisme untuk itu, walaupun si penjual  ngasih saya hadiah free minuman huahahaha. Coba kalau saya  batalkan order karena uang saya tidak cukup, kan kasihan buat abang OJOL  nya yang sudah berjuang membelikan makanan.

Perlu ada perbaikan relasi penjual, pembeli, perantara, maupun sistem pembayaran. Agar hidup lebih efisien. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun