Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menanggapi Mosaiknya Nashih Nasrullah di Republika

27 November 2013   08:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Nashih Nasrullah menulis tentang Muslim Cina dengan judul “Kompleksitas Islam di Cina”. Pada akhir tulisannya ia menulis sebagai berikut:

Terisolasinya Muslim Cina dari dunia luar, setidaknya berpengaruh pada tingkat pemahaman masyarakat Muslim Cina akan Islam itu sendiri. Mengusung misi dakwah secara institusional cukup sulit. Tak ada pilihan selain mendorong spirit berubah dari internal umat Islam Cina sendiri.

Sebagai muslim Indonesia yang hampir 3 tahun ini berdiam di negeri Cina, saya ingin memberikan gambaran dari dalam tentang Islam di Cina berdasarkan pengalaman-pengalaman yang saya alami di Wuhan, ibukota provinsi Hubei.

Pertama, tentang pengajaran agama Islam di Cina, menurut berita – berita yang saya baca di media resmi, sudah ada beberapa sekolah yang mengajarkan calon-calon imam, dengan para pengajar dari lulusan Al Azhar. Referensi tulisan Nashih Nasrullah mencatat  Islam di Cina pada era 1980-an. Sekarang sudah tahun 2013. Ada rentang jarak 33 tahun, dan pada kurun waktu tersebut perkembangan pesat terjadi di Cina, pada berbagai hal. Saya juga sering menulis tentang ISlam di Cina melalui media kompasiana. Kaum santri Indonesia, perlu juga melongok ke Timur agar tahu keadaannya..

Muslim Cina sudah tidak terisolasi lagi. Saat ini puluhan ribu atau ratusan ribu dan bahkan mungkin jutaan pendatang masuk ke Cina. Di antara mereka adalah kaum muslimin dari Asia, Afrika, Timur Tengah, dan lain-lainnya. Mereka datang ke negara ini, untuk bisnis ataupun belajar. Mereka-pun bersosialisasi dan berinteraksi dengan muslim Cina dari suku Hui maupun suku Uighur yang berpendidikan (mahasiswa yang sedang sekolah). Dan interaksi ini menyebabkan gairah keislaman lebih menggeliat di masyarakat Cina. Contoh nyatanya adalah pada saat sholat Jum’at. Biasanya sedikit sekali mahasiswa Cina Muslim yang ikut sholat jum’at di dalam asrama internasional. Tetapi setahun belakangan ini beberapa mahasiswa muslim Cina mulai aktif jum’atan bersama-sama dengan mahasiswa muslim luar negeri. Makanan halal semakin lama semakin banyak dan dipahami oleh masyarakat non muslim di Cina.

Islam identik dengan suku Hui dan suku Uighur di Cina. Jika suku Hui adalah keturunan campuran suku Han dan pendatang Arab di masa lalu yang wajahnya agak sukar dibedakan dengan suku Han yang mayoritas, maka suku Uighur yang menempati Cina Utara dikatakan sebagai keturunan Turki. Bahasa nya berbeda, dan mereka menggunakan aksara Arab dalam tulisannya. Mungkin kalau kita bangsa Indonesia tidak mengalami penjajahan Barat dan Jepang, aksara Arab juga menjadi aksara yang dipakai di Indonesia. Ada anggapan suku Uighur bersekutu dengan Al Qaida untuk mendirikan negara Islam, namun bberapa kalangan lebih sepakat dengan sebab adanya kesenjangan ekonomi sebagai sebab konflik Uighur versus pemerintah Cina.  Kaum muslim Uighur inilah yang sering mendapat sorotan, tetapi muslim suku Hui bebas – bebas saja menjalankan kewajiban agama-nya.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga menjadi penunjang bagi masyarakat muslim Cina untuk terus berkembang. Mereka sudah terbiasa dengan qur’an digital ala android dan mempelajari Islam dengan piranti telefon dan diketahui pula bahwa jamaah haji dari Cina semakin lama semakin meningkat jumlahnya.

Kedua, permasalahan modernisasi selalu terkait dengan struktur masyarakat yang ‘menuhankan’ materi. Masyarakat Cina sangat tekun dan serius mengejar kemajuan ekonomi. Kondisi tersebut berdampak pada liberalisasi kehidupan seperti yang dianut oleh negara dan masyarakat. Dengan kata lain, banyak dari muslim awam Cina secara sadar meninggalkan kewajiban sholat, karena memang ajaran agama tidak melekat erat sebagai bagian dari kepribadian. Seperti Islam KTP di Indonesia, mengaku muslim tetapi tidak menjalankan kewajiban-kewajibannya.  Ketika melihat acara televisi yang menampilkan budaya muslim Cina di Xinjiang, maka yang muncul adalah budaya yang mirip dengan ‘tari perut’ ala Timur Tengah. Mereka mengucapkan Assalamualaikum sebagai penanda identitas keislamannya.

Walaupun begitu saya yakin, cahaya keislaman masih terus bergema di Cina. Mereka memiliki banyak pilihan hidup. Menjadi sekuler seperti mayoritas masyarakat Cina atau menapaki jalan keberagamaan yang benar, seperti yang dianut oleh muslim lainnya di seluruh dunia, ataupun seperti yang dijalankan oleh para pendatang muslim. Walaupun pada kenyataannya, para pendatang muslim juga memiliki ketaatan beragama atau kesalehan yang beragam. Tidak usah saya beri contoh bagaimana aplikasinya.

Tulisan Nashih Nasrullah pada media Republika Online Minggu, 24 November 2013, 07:18 WIB. tersebut hanya memotret Cina di belakang. Mungkin inilah gambaran kerasaingintahuan orang Indonesia tentang Cina sekarang dan rakyat muslimnya. Alangkah lebih baik jika Nashih membuka jendela dunia internet, dan menambahkan sumber-sumber terpercaya mengenai Islam dan Cina. Beberapa media resmi pemerintah Cina sudah menggunakan berbagai bahasa asing seperti Arab, Perancis, Spanyol, Inggris, Portugis dan sebagainya. Cina itu lebih dekat dari Amerika Serikat, tetapi kita lebih tahu Amerika daripada Cina karena bombardier media Barat setiap saat membanjiri media kita.

Wuhan, 27 November 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun