Sebagian orang memiliki hubungan erat dengan bis ukuran sedang ini. Mengantar datang dan pulang ke tempat kerjaan. Meskipun kadang-kadang harus dijejal-jejalkan mirip ikan pindang di dalam panci. Tapi itulah hidup yang harus dijalani di Jakarta. Harga yang harus dibayar untuk mejalani kehidupan Jakarta.
Beberapa orang sudah alumni dari penumpang metromini dan kopaja. Menjadi motoris walau bensin habis tapi waktu menjadi lebih taktis. Kadang-kadang juga masih harus membaui bis ukuran sedang itu. Karena satu atau lain hal. Beberapa orang naik tingkat dengan membeli mobil pribadi. Kemudian merancangnya agar nyaman dikendarai, dengan pendingin, musik, dan asesoris lainnya. Mereka melupakan metromini dan menikmati dunia barunya, yang ternyata menambah keruwetan lalu lintas Jakarta. Dari atas metromini saya lihat hanya ada satu dua orang di mobil family itu. Sementara kami bertigapuluhan lebih berdempetan dengan bau beraneka rasa.
MIMPINYA. Memiliki kota dengan sistem transportasi masal yang bagus. Sehingga biaya transportasi massal lebih murah, dengan suasana yang lebih manusiawi. Kota-kota besar di Indonesia harus memulai itu. Bersaing dengan Jakarta mewujudkan kota yang manusiawi. Indeks kebahagiaan ditingkatkan seperti gagasannya Walikota Bandung Ridwan Kamil. Perjuangan Ridwan Kamil untuk membuat transportasi massal murah dan nyaman di kota Bandung juga nampaknya masih membutuhkan waktu tahunan. Karena revolusi tidak bisa dilakukan seorang diri. BAhkan satpol PP saja masih harus dihukum oleh Kang Emil karena etos kerjanya yang rendahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H