Perjalanan ini adalah sebuah konsekwensi dari suatu proposal yang tidak memperoleh jawaban. Karena pimpinan sudah mengadakan pendekatan dengan pihak di Taiwan, maka proposal diajukan untuk mengadakan suatu kegiatan di tempat mereka. Namun sepertinya beertepuk sebelah tangan, karena pihak yang dihubungi tidak memberikan respon yang positif. Akhirnya dicoba beberapa pendekatan ke beberapa tempat di beberapa negara di berbagai kota.
Semuanya mengalami kebuntuan, karena memang dibutuhkan kedekatan terlebih dahulu. Ada satu lokasi di sebuah kota di Jepang, yang memberikan jawaban lebih positif, sayang terbentur pada birokrasi. Karena lembaga pemerintah, ia harus melalui beberapa jalur persetujuan sebelum akhrnya dapat menerima kami. Karena panjangnya prosedur, maka mereka hanya bisa menerima kami di tahun depan.
Melalui kedekatan dengan teman lama, akhirnya Wuhan menjadi tujuan kami. Ibukota Provinsi Hubei yang ditempuh melalui Bangkok. Yaa karena dana terbatas. Ke Bangkok dengan Lion Thailand, semua kru-nya dari negara sana, penumpang kebanyakan warga Indonesia. Keberangkatan tidak seperti tertera di tiket, namun sampai di tujuan jam 10 an lebih sedikit, mirip dengan yang ada di tiket J . Bandara DMK meminta kami untuk cek imigrasi, disitu di tulis transit to china yang memberikan kami kesempatan untuk menunggu selama enam jam.
Kemudian kami tukar uang secukupnya untuk biaya konsumsi waktu tunggu. Mencoba mencicipi wafel dan kopi ala lokal yang penuh dengan busa dan rasanya…. wakwaaaw. Sesudah itu, menunggu dzhuhur di mushola bandara di lantai 2, bersama saudara seiman yang berasal dari daerah Udan Tani, yang berbatasan dengan Laos. Ia bercerita bahwa anaknya juga bersekolah di Indonesia, dan sekarang bekerja di Narathiwath. Karena sama-sama musafir, kami sholat berjama qoshor berjamaah. Sesudah itu, mencari makan siang di bandara ini, di lantai tiga ada kantin 24 jam yang menjual berbagai jenis makanan. Kami memilih sejenis nasi goreng yang rasanya tidak jauh berbeda, yang membedakan mungkin hanya irisan mangga muda dan bawang batang di piring kita.
Jam empat sore, kami naik ke Airasia menuju Wuhan. Pesawat dipenuhi oleh turis dengan berbagai macam oleh-oleh. Turis asia timur ini memang terkenal suka berbelanja, terutama di toko-toko “duty free”. Petugas pesawat tampak agak kesulitan mengatur tas yang dibawa ke kabin, karena mereka membawa mungkin melebihi ketentuan. Tetapi memang konsumen adalah raja, sehingga pramugara-pramugari hanya memperingatkan tetapi tidak memberikan sanksi kepada pelanggaran aturan di pesawat.
Tiba di Tianhe International Airport jam 8.30 waktu WIB, dan jam 9.30 waktu Beijing. Kami menumpang bis bandara menuju Fujiapo. Di tengah jalan di oper ke bis belakangnya, mirip kelakuan angkot Jakarta. Dari bandara kemudian melanjutkan perjalanan ke Computown dengan menumpang bis. Setelah itu, kami mencari penginapan, dan membeli air dan nasi goreng di kedai penjual yang masih buka. Tidak lupa mencicipi sate kambing ala Xinjiang sebagai penghangat tubuh. Inilah Wuhan, kota yang memiliki semboyan “Setiap hari adalah berbeda di Wuhan”. Kemajuan cukup pesat di Wuhan, asrama mahasiswa di CCNU sekarang sudah berdiri megah duapuluhan lantai, yang ketika kita datangi di April 2014 masih “under construction”
Wuhan nampaknya sudah menjadi entitas yang berbeda. Itu sesuai dengan slogannya, setiaap hari berbeda. Wuhan different every day.... Wuhan mei tian bu yiyang
Slogan Kota Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei yang terus menerus membangun, menggambarkan keinginan manusia modern yang terus menerus mengejar kemajuan ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H