Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tren Umroh dan Tren Ibadah Ber-Uang

18 Januari 2015   00:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesejahteraan masyarakat di sekitarku sepertinya sudah meningkat. Beberapa biro umroh terpampang sepanjang jalan pendek yang namanya jalan tanah merdeka. Jalan pendek dengan beragam biro umroh. Biro umroh ada karena ada pangsa pasarnya. Mereka yang memiliki dana untuk wisata rohani ke Saudi Arabia. Demikian pula di kampung halamanku di Bandung. Beberapa pimpinan pesantren memiliki bisnis sampingan sebagai biro umroh. Bagus tentunya bagi yang mampu dan sempat serta berkeinginan.

Namun masih ada warga yang memiliki uang, tetapi belum "dipanggil" untuk naik haji atau berumroh. Kehajian adalah sesuatu yang tidak terhitung matematis. Bila sudah terpanggil, seorang yang fakir miskin bisa menjalankan haji dan umroh. Seperti cerita teman guru di sekolah Muhammadiyah di bilangan Jakarta. Meskipun gaji bulanannya dibawah UMR Provinsi DKI, tetapi ternyata beliau mampu berhaji dan berumroh. Amazing kan !!! Saya sendiri masih taraf berniat, mudah-mudahan ada jalan.

Namun ternyata uang bukan satu-satunya jalan untuk beribadah. Kita bisa meraih pahala setimpal pahala berhaji dengan melaksanakan ibadah lain yang diperhitungkan pahalanya oleh Allah SWT. Allah Maha Adil, Ia memfasilitasi kaum muslimin yang fakir dan miskin untuk memperoleh pahala haji walaupun mereka tidak berhaji ke Mekkah. Itulah keadilan hakiki. Allah tidak berteori secara kuantitatif semata.

Manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan. Melaksanakan umroh untuk ibadah sendiri, dan menginfakkan harta kepada saudara atau kaum muslimin terdekat yang lebih membutuhkan juga menjadi pilihan-pilihan rasionalitas yang menantang.

Seseorang meninggal, saat ia memiliki kelebihan limpahan rejeki. Maka keluarganya menyewa beberapa orang untuk mengaji (membaca Al Qur'an) di depan kuburan sang almarhu selama sebulan siang dan malam. Kisah ini terjaid di Jawa Barat. Pesan kyai, bahwa selama di depan kuburan dibacakan Al Qur'an, maka malaikat tidak akan menanyainya. Kalau begitu logikanya, maka kasihan sekali orang-orang miskin yang tidak memiliki uang untuk membayar pembaca Al-Qur'an di depan kuburan. Karena mereka langsung bertemu dengan malaikat di alam kubur. Pertanyaannya, apakah dimensi waktu yang dirasakan oleh manusia setelah kematian, saat di alam kubur, sama panjang ukurannya dengan di dunia nyata. Bukan mustahil jika Allah membuat satu hari di alam kubur menjadi seribu tahun dalam ukuran dunia nyata manusia yang hidup?. Maka prosesi ritual kematian saat ini sudah menjadi lahan bisnis bagi beberapa oknum yang secara sadar atau tidak sadar sudah mengkomersilkan agama. Mudah-mudahan dengan sarana informasi yang terbuka saat ini, makin banyak warga umat Islam yang tercerahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun