Mohon tunggu...
NINE ADIEN MAULANA
NINE ADIEN MAULANA Mohon Tunggu... -

Tinggal di Jombang, Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mau Bejo? Bertahajjudlah!

20 September 2013   19:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:37 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tahajjud adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat istimewa. Dasar naqly ibadah ini sangat kuat. Istilah tahajjud inipun berasal dari teks al-Quran. Lebih dari itu, baik dalam al-qur’an maupun alhadits, perintah ibadah tahajjud disertai dengan penjelasan balasan atau keutamaan bagi orang yang melakukannya. Inilah yang membedakan dengan ibadah sunnah yang lain; yang biasanya keutamaannya dijelaskan dalam al-hadits.

Ibadah tahajjud disebut juga dengan istilah qiyamul layl yaitu ibadah ritual, khususnya shalat, yang dilakukan pada malam hari. Para ahli fiqih mengatakan bahwa shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dilakukan di malam hari setelah bangun tidur. Bila tahajjud itu dibatasi sebagai ibadah shalat sunnah, maka ia meliputi segala shalat sunnah yang dilakukan pada malam hari setelah tidur walaupun hanya sekejap. Akan tetapi, jika ia dipahami sebagai aktifitas ibadah ritual pada malam hari setelah tidur, maka ia tidak hanya shalat, namun bisa berupa dzikir kalimat thayyibah, membaca al-Quran, i’tikaf dan lain-lain.

Terserah bagaimana pemahaman anda tentang definisi ibadah tahajjud itu. Perbedaan definisi tidak menjadi masalah pokok. Yang pasti adalah bahwa tahajjud dikerjakan pada malam hari, bukan siang hari, dan lebih utama lagi setelah tidur. Apapun definisinya, yang terpenting lagi adalah kita mau melaksanakan ibadah malam hari itu.

Di antara sekian banyak ayat yang menjadi dasar perintah tahajjud, perhatian saya tertuju pada QS. Al-Isrâ’ [17]:79. Arti ayat tersebut adalah“dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” Dalam ayat ini terkandung beberapa keistimewaan tahajjud, yaitu: 1. Istilah tahajjud secara jelas disebut dalam ayat ini; 2. Dasar melakukan ibadah tahajjud sangat kuat karena redaksi ayat ini menggunakan bentuk (shighat) kata perintah (fi’il amr); 3. Tahajjud disebut sebagai ibadah tambahan (nâfilah); 4. Perintah melakukan tahajjud secara bersambung dalam satu ayat disertai dengan jaminan balasan bagi orang yang melakukannya; 5. Balasan yang dijanjikan itu adalah tempat atau kedudukan yang terpuji (maqâman maħmȗda)

Sebenarnya malam adalah waktu yang disediakan Allah SWT bagi manusia untuk beristirahat setelah bekerja di siang hari. Istirahat yang paling sempurna adalah tidur. Dalam QS. An Nabâ’[78]:9 Allah SWT berfirman yang artinya,dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat.” Meskipun demikian, tidak seharusnya seluruh malam digunakan untuk tidur. Jatah tidur kita seharusnya adalah 2/3 malam yang pertama, sedangkan 1/3 malam yang terakhir adalah waktu kita untuk melakukan ibadah tahajjud.

Allah SWT sangat memahami kebutuhan istirahat manusia di waktu malam, sehingga perintah tahajjud tidak berarti meniadakan pemenuhan hak tubuh manusia untuk beristirahat. Perhatikanlah redaksi QS. Al-Isrâ’ [17]:79! Ayat tersebut menggunakan huruf min yang bermakna ‘sebagian’ (ba’dh). Hal ini memberikan pengertian bahwa tidak seluruh malam yang digunakan untuk bertahajjud, namun hanya sebagiannya saja, yakni pada 1/3 (sepertiga) terakhir.

Perintah melakukan tahajjud sebenarnya diwajibkan kepada Rasulullah SAW, namun umatnya dianjurkan untuk mengikutinya. Atas dasar itulah para ahli fiqh menghukumi sunnah muakkadah bertahajjud bagi umat Muhammad SAW. Lafadz fatahajjad adalah kalimat perintah (fi’il amr), sehingga dapat dipahami bahwa meskipun tidak sampai berhukum fardlu, namun kita sangat dianjurkan mengerjakannya.

Sesuatu yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan pasti mengandung keistimewaan. Sepertiga malam terakhir adalah waktu yang sangat istimewa untuk bermunajat kepada Allah SWT. Banyak hadits yang menceritakan keistimewaannya; di antaranya dari Abu Hurairah, Rasulullah SAWbersabda, “Rabb kami -Tabaroka wa Ta'ala- akan turun setiap malamnya ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Allah berfirman, “Siapa yang memanjatkan do'a pada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan memberikan ampunan untuknya” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)

Pada saat tidur manusia menggunakan energi yang lebih sedikit daripada saat bangun. Jika mayoritas manusia tidur di malam hari, berarti persediaan energi potensial yang ada dalam semesta melimpah ruah pada waktu malam, apalagi pada 1/3 malam terakhir. Alasannya, tidak banyak orang yang menggunakan dan mentransformasi energi, karena mayoritas mereka tidur.

Jika ada orang yang bangun di 1/3 malam terakhir, kemudian melakukan ibadah tahajjud, tentu transformasi energi yang ia lakukan, saat ia shalat, berdzikir, berdo’a, membaca kitab suci dan lain-lain, didukung dengan limpahan energi semesta yang sangat besar. Jika memang benar bahwa orang yang bertahajjud kepada Allah SWT itu memancarkan aura atau semacam gelombang elektromaknetik, maka gerak laju gelombang tersebut berlangsung sangat cepat karena didukung energi potensial semesta yang melimpahruah. Dengaan demikian, sangat masuk akal jika 1/3 malam terakhir disebut sebagai waktu utama untuk berdo’a. (mustajabah).

Meskipun anjuran bertahajjud sangat kuat, namun keberadaannya tidak menggantikan shalat fardlu lima waktu. Hal ini ditegaskan dalam ayat di atas dengan adanya redaksi nâfilatan laka (sebagai suatu ibadah tambahan bagimu). Sangat tidak dibenarkan bertahajjud, namun mengabaikan atau bahkan meninggalkan Shubuh karena mengantuk. Pembahasan tahajjud dengan segala keistimewaannya tidak berlaku jika kewajiban pokok yang berupa shalat lima waktu tidak dipenuhi. Apa yang mau dijadikan tambahan jika yang pokok tidak ada?

Meskipun berhukum sunnah mu’akkadah dan berfungsi sebagai ibadah tambahan, tahajjud menjadi sarana mencapai kedudukan yang terpuji (maqâman maħmȗda). Kedudukan yang terpuji itu bisa disebu sebagai keadaan bejo. Orang yang bejo adalah orang selalu ditolong dan ditempatkan Allah SWT pada kondisi yang selalu menguntungkan. Cakupannya sangat luas, tidak dibatasi oleh keadaan, profesi, ruang dan waktu tertentu. Tahajjud mengantarkan kita menuju keberuntungan itu. Benar tagline salah satu iklan, “Orang pintar kalah dengan orang bejo.” Jika anda ingin bejo, bertahajjudlah![]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun