Mohon tunggu...
Yudith Adhitya
Yudith Adhitya Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNS Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Legiun Mangkunegaran : Tentara Jawa Ala Prancis

12 Desember 2012   12:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:47 4862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13553166831180003529

Legiun Mangkunegaran adalah organisasi militer ala Eropa tepatnya Militer Perancis yang merupakan institusi modern di Asia pada zamannya yakni awal abad ke-19. Legiun Mangkunegaran muncul sebelum kekaisaran Jepang memulai Restorasi Meiji dan Kerajaan Siam memodernisasi diri dengan belajar ke mancanegara terutama ke negeri Jawa.

Nama Mangkunegaran tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Praja Mangkunegaran.Cikal bakal dari Legiun Mangkunegaran ialah para anggota pasukan yang memberontak pada VOC, yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyowo. Ketangguhan tempur pasukan ini mulai terkenal sejak mereka dibawah Pangeran Sambernyowo, melakukan penyerangan pos-pos militer Belanda di daerah Salatiga, saat pemberontakan orang Cina pada tahun 1744. Setelah Pangeran Sambernyowo atau Raden Mas Said menjadi kepala Praja Mangkunegaran pada tahun 1757, pasukan tersebut merupakan bagian resmi dari Praja Mangkunegaran. Sejarah Legiun Mangkunegaran berjalan paralel dengan Praja Mangkunegaran. Nama Legiun mengadopsi organisasi militer Perancis, yang pada tahun 1808-1811 pernah menguasai Jawa dibawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.

Semasa Deandels, seragam pasukan Legiun Mangkunegaran mengadopsi busana Eropa: mengenakan topi syako, jas pendek di muka berwarna hitam, dibelakang memakai kencer dan bercelana putih.

Tradisi Militer Praja Mangkunegara

Sejarah Praja Mangkunegaran timbul seiring kemunculan pendirinya yakni Mangkunegara I yang dikenal sebagai Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Legiun Mangkunegaran tumbuh dan berakar dari pasukan-pasukan yang ada dari Praja Mangkunegaran. Kesatuan-kesatuan ini timbul semasa pemberontakan Raden Mas Said terhadap keadaan yang tidak adil di tanah Jawa masa itu. Saat itu terjadi krisis perekonomian di Batavia yang di ikuti oleh ragkaian kerusuhan di daerah pinggiran kota. Muncul pembantaian terhadap orang Tionghoa, kerusuhan dan pencurianpun berlanjut di sekitar Batavia. Akhirnya pada tahun 1740, Kompeni Belanda (VOC) di bawah Gubernur Jenderal Adrian Valckenier membantai orang Tionghoa di Batavia. Diperkirakan 10.000 orang Tionghoa dibunuh di Kota Batavia. Peristiwa itu memicu pembangkangan massal dan perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai Perang Tjina melawan Ollanda. Orang Tionghoa dan Jawa bersatu melawan Belanda. Ibu Kota Mataram di Kartasura yang dianggap dekat dengan VOC turut diserbu pasukan Tioanghoa dan Pasukan Jawa. Komandan pasukan Tionghoa, Kapten Sie Pan Jang diketahui menjadi guru militer Raden Mas Said.

Penguasa Mataram, Pakubuwana II menghadapi pilihan sulit. Kalangan Istana Mataram terpecah dalam dua kelompok yakni Fraksi Patih Natakusuma-termasuk Raden Mas Said-memilih melawan VOC dengan jalan bergabung bersama perlawanan pasukan Tionghoa. Kelompok lain yang dipimpin oleh penguasa daerah pesisir Jawa menilai VOC akan menang sehingga Raja diminta menunggu perkembangan. Tetapi Raden Mas Saidmemilih pergi meninggalkan Keraton Kartasura, menyusun kekuatan di Laroh, sekitar Wonogiri. Raden Mas Said memimpin pasukan pemberontak yang bergerilya selama 16 tahun.

Pada bulan Juli 1741, pengawal Raja di Kartasura menyerang garnisun VOC di sana. Komandan VOC Kapten Johannes Van Velsen dan beberapa serdadu terluka dan 35 prajurit Eropa tewas. Garnisun VOC akhirnya menyerah bulan Agustus 1741, orang Eropa yang menyerah diberi pilihan untuk konversi agama islam dan bergabung ke Mataram atau menghadapi hukuman mati dan benteng VOC di Kartasura dihacurkan.

Menurut M.C. Ricklefs, selanjutnya Pakubuwana II mengambil putusan salah dan memutuskan hubungan dengan VOC. Dia mengirim pasukan dan Artileri ke Semarang seolah-olah hendak membantu VOC. Namun, sebenarnya prajurit-prajurit Mataram bergabung dengan orang-orang Tionghoa yang sedang mengepung Kota Semarang karena Kota Semarang adalah pos terpenting VOC di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam pengepungan ini kekuatan VOC dipesisir utara Jawa Tengah nyaris jatuh.

Dalam keadaan genting, Cakraningrat IVdan Laskar Madura yang dipimpinnya menyediakan bantuan kepada VOC. Pasukan VOC yang dibantu Cakraningrat mengambil alih insiatif peperangan dan mendesak lawan. Pasukan VOC-Madura memukul balik pasukan Tionghoa-Mataram yang tersisa di sekitar Semarang.

Perlawanan terhadap VOC dan Hegemoni kekuasaan Mataram ketika itu membentuk munculnya Raden Mas Said yang menglami pasang surut peperangan. Lagi-lagi keberadaan pasukan Cakraningrat IV berhasil mematahkan perlawanan kelompok bangsawan Mataram. Cakraningrat IV merebut kembali Kartasura dan mengembalikan Pakubuwana II ke atas tahta. Perlawanan tetap hidup terhadap kekuasaan Mataram. Mangkunegara dan Pangeran Mangkubumi membentuk pasukan yang tangguh. Mereka berdua mendapat dukungan dari elite dan rakyat kerajaan yang tadinya menyokong Raja. Pada tahun 1748, Mangkunegara dan Mangkubumi semakin kuat posisinya dalam perlawanan tersebut dengan adanya pernikahan Mangkunegara I dengan putri Mangkubumi. Pada 28 Juli 1750 Mangkunegara dan Pangeran Singasari menyerang Ibu Kota Surakarta. Mereka berhasil memukul mundur pasukan VOC dan prajurit Jawa dari Ibu Kota. Yang mengakibatkan kehidupan masyarkat Surakarta menderita disusul dengan naiknya harga barang pokok. Bahkan petinggi VOC berfikir untuk menyerahkan Mataram ke tangan Mangkunegara.

Namun konflik muncul diakhir tahun 1752, timbul perselisihan antara Mangkunegara dan Mangkubumi. Ann Kumar menafsirkan tidak seorangpun dari kedua pangeran itu mau menerima posisi nomer dua. Komandan Belanda Van Hohendorff pun mulai menyurati Mangkunegara untuk membujuk demi mengakhiri perang.

Ketika itu, Mangkunegara mencoba diplomasi dengan Mangkubumi dan mengusulkan untuk membagi Mataram bagi mereka berdua. Namun, Mangkubumi menolak untuk berhubungan kembali dengan Mangkunegara. Konon sejak ituah terjadi permusuhan antara keluarga dan masyarakat dua komunitas tersebut. VOC mengabulkan permintaan Mangkubumi, Kesultanan Yogya pun muncul pada tahun 1755 sebagai bagian dari pemecahan Kerajaan Mataram menjadi dua.

Kerajaan di Yogyakarta, Surakarta dan VOC sama-sama memburu Mangkunegara yang tetap bergerilya tanpa membuahkan hasil. Malahan, Mangkunegara nyaris membakar Keraton Yogyakarta yang baru berdiri. Mangkunegara juga membunuh banyak prajurit Belanda dan Komandannya Kapten Van De Poll di Hutan Blora.

Situasi peperangan mengalami jalan buntu. Mangkunegara meminta diperlakukan sama dengan Pakubuwana III dan Mangkubumi dengan membagi Kerajaan Mataram menjadi tiga bagian. Namun usulan itu ditolak penguasa Yogyakarta dan Surakarta. Perjanjian damai akhirnya diraih dengan persetujuan Mangkunegara mengakui takhta Pakubuwana III dan menjadi Kawula Surkarta dengan imbalan 4000 cacah (rumah tangga) di wilayah Kasunanan Surakarta di Kaduwang, Matesih, dan daerah Gunung Kidul.

Raden Mas Said alias Mangkunegara menjadi pendiri Pura Mangkunegara dengan sebutan Mangkunegara I. Pura Mangkunegara dibangun di tengah Kota Surakarta yang kini di alam modern terletak di sebelah selatan Kasunanan Surakarta dengan garis batas poros barat ke timur Kota Surakarta yang kini dikenal sebagai jalan Ignatius Slamet Riyadi.

Legiun dan Dinasti Mangkunegara

Secara resmi, Gubernur Jenderal Deandels mengeluarkan surat keputusan pada hari jumat tanggal 29 Juli 1808 yang menetapkan keberadaan Legiun Mangkunegaran dalam pasukan gabungan Perancis-Belanda-Jawa dalam perang melawan Inggris. Semasa Mangkunegara II tercatat ada 200 prajurit jaga di Yogyakarta dan di Benteng Klaten. Sebagian pasukan turut ke Semarang memperkuat pertahanan Perancis-Belanda.

Legiun Mangkunegaran sempat dibubarkan setelah Inggris berkuasa, tetapi kemudian dihidupkan kembali karena perang napoleon masih bergejolak dan Eropa masih belum stabil menyusul kembalinya Napoleon dari pengasingan di pulau Elba. Berdasarkan surat keputusan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang mewakili Serikat Dagang Hindia Timur Inggris tanggal 13 februari 1812, Legiun Mangkunegaran diaktifkan kembali dan diminta membantu pemerintahan sela (British Interregnum) yang berlangsung sejak 1811-1816.

Di zaman pra-Indonesia merdeka, Legiun Mangkunegaran pernah terlibat dalam banyak perang. Dalam perang Diponegoro ia menjadi penjaga Yogyakarta dan Surakarta dari serangan pasukan Pangeran Diponegoro dan kemudian menghancurkan benteng terakhir Diponegoro. Tentara ini juga turut berperang menundukkan kesultanan Aceh, menumpas bajak laut di Bangka, melawan gerakan Radikal keagamaan hingga perang melawan serbuan Jepang ke Jawa pada 1942.

Posisi Legiun Mangkunegaran

Legiun Mangkunegaran dari semula sudah berada pada posisi sebagai satuan militer yang membantu Perancis-Belanda, Inggris semasa Raffles dan Hindia Belanda. Dalam perang Napoleon, 1908-1811 Legiun Mangkunegara berada di kubu Perancis-Belandamenghadapi Inggris. Namun oleh Raffles kemudian Legiun ini dijadikan tentara yang membantu Inggris. Posisinya bukanlah sebagai tentara pengikut Diponegoro tetapi justru membantu penjajah.

Menurut Asvi Warman Adam, kedudukan Legiun Mangkunegaran lebih baik tidak dilihat secara hitam putih. Tetapi dilihat dari aspek profesionalitas dan bukan hanya sekedar nasionalisme karena Nasionalisme mereka adalah Legiun itu sendiri.

Sumber : Buku Buku Legiun Mangkunegaran Karya Iwan Santosa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun