Loyalitas orang Indonesia terhadap sesuatu yang disukai memang patut diacungi jempol. Tidak hanya terhadap tokoh-tokoh panutan yang segala ucapnya selalu dituruti walau secara nalar dan hukum bertentangan.
Juga kepada negara. Kalau pun presidennya sendiri yang merupakan simbol negara, seringkali mereka kritik bahkan ejek. Tetap saja, ketika masyarakat luar sana ada yang berani mengejek, bela negara akan segera dilakukan. NKRI yang kerap mereka kritik, pada waktu itu tetap sebagai harga mati!
Kejadian yang sama terdapat pada dunia sepakbola. Baik pada level klub dan kesebelasan nasionalnya. Kalau pun prestasinya selalu jeblok, tak satu pun boleh menghinanya. Loyalitas tanpa batas merupakan prinsip yang benar-benar mereka jalankan tanpa ada bantahan penyangkalan!
Tapi barangkali soal ini masih dapat dipahami. Setidaknya, katakanlah kesamaan genetik, baik terkait kedaerahan, nasionalisme, atau ideologis, merupakan pengikat adanya sikap kesetiaan bahkan sikap fanatik itu.
Bahkan untuk merujuk hal itu, masyarakat Sunda memiliki pepatah, "Buruk-buruk Papan Jati." Bahwa kalau pun seseorang kelakuanya jelek, namun ketika ada ikatan saudara tetap harus dibela.
Dan ikatan primordial seperti diatas tentunya bukan hanya milik orang Sunda semata. Nyatanya dari Aceh hingga Papua, ikatan primordial seperti tadi bahkan telah menjadi kearifan turun temurun yang sama sekali tak dapat dihilangkan.
Namun ketika loyalitas tanpa batas atau fanatisme tadi sama sekali tidak ada ikatan genetis sebagaimana dikatakan tadi, tentunya hal tersebut akan menjadi sulit dicerna akal sehat. Sudah diluar nalar.
Hanya begitulah kenyataan yang ada di negeri kita. Contoh nyata, seorang teman, begitu fanatiknya terhadap kesebelasan Barcelona dan Argentina. Saking fanatiknya, hingga dalam diskusi pun tidak ada dalam kamusnya bilamana Barcelona dan Argentina sebagai tim medioker, meski pada kenyataannya -bilamana dilihat dari sisi prestasinya- kenyataan menunjukkan hal itu.
Hal yang lebih diluar nalar. Seorang teman, saking tergila-gilanya kepada klub biru langit asal kota Roma, bahkan sampai menamai anaknya dengan bubuhan Laziale -nama yang menunjuk kepada kesebelasan tadi.
Apa yang kami kemukakan itu tentunya hanyalah sebuah potret kecil. Bahkan sebetulnya akan banyak ditemukan cara-cara yang lebih mencengangkan dilakukan oleh masyarakat kita untuk menunjukkan kecintaannya kepada sesuatu yang sama sekali tidak ada ikatan genetik tadi.
Pertanyaannya, apakah sikap seperti itu didorong oleh sebuah kerinduan bilamana negerinya, sebut saja disini kerinduan terhadap prestasi dari klub kesayangan di daerahnya dan tim nasional yang di cintainya.